Buat orang yang mencintai genre horor, tahun ini jelas sebuah berkah, dimana kita disuguhkan banyak film horor berkesan, dari The Witch yang sangat mengerikan hingga Green Room yang brutal nan brengsek. Alhasil amat menyulitkan bagi saya untuk membuat daftar sepuluh film terbaik ini, padahal sudah dipersempit hanya film horor yang tayang di bioskop Indonesia saja. Jadi tidak perlu tanya kenapa saya memasukkan Last Shift yang jelas-jelas film buatan 2014, alasannya karena filmnya saya tonton bulan Maret kemarin pada saat tayang disini. Jangan tanya pula soal kenapa Cipali KM 182 kok tak dimasukan, kalau saja tidak jiplak The Possession of Michael King, saya sudah dengan senang hati taruh filmnya di posisi kesatu.
Berikut daftar sepuluh film horor yang menurut saya paling menyeramkan, paling sinting ide dan esekusinya, serta yang terpenting mengingatkan kembali kenapa saya begitu mencintai film horor.
Before I Wake diakui bukan tipikal horor yang akan membuat penonton merapal doa karena ketakutan setengah mati, walaupun ada beberapa bagian yang masih bisa disebut mencekam, berkat sentuhan khas Flanagan membangun atmosfir di tiap bagian horornya. Meski tidak seram, lagipula film Flanagan saya pikir bukan jenis film horor yang menakutkan, tapi saya setidaknya bisa menikmati suguhan ketegangan mengasyikkan dipadukan dengan storytelling menyenangkan. Paket kombo yang jarang saya temui di kebanyakan film-film horor, karena standarnya durasi terbuang percuma untuk penampakan instan, sedangkan cerita dinomor-seratuskan. Before I Wake mengembangkan konsepnya menjadi tontonan horor yang sama menariknya dengan ide dasarnya, didukung rancangan kuat pada sisi fantasinya ketika menterjemahkan imajinasi menjadi gambar-gambar indah nan kreatif sekaligus juga mengerikan. Terlepas dari polesan efek visual yang kurang maksimal, tetapi kemunculan si makhluk jelek tetap mampu menghadirkan teror dan menyuntikkan dosis ketegangan yang cukup. Setelah Hush, Before I Wake ini jelas film favorit kedua saya dari Mike Flanagan, sebuah fantasi-horor yang tidak seram tapi tetap memberikan pengalaman yang menyenangkan.
Saya benar-benar ingin menonjok wajah Adam Wingard setelah menonton Blair Witch, lalu membelikannya sekaleng bir bintang dan kita tos ala Stone Cold Steve Austin, give me a hell yeah! Film yang sempat diputar di Festival Film Toronto ini tak sekedar memberikan ketakutan yang organik, tapi juga membuat gaya found footage menjadi terlihat keren lagi. Ekspektasi saya seperti dikencingi oleh Adam Wingard, Blair Witch ternyata bukanlah sekuel recehan yang hanya akan buang kotoran ke predesesornya. Sebaliknya, saya pikir Adam sudah membuat bahagia Eduardo Sanchez dan Daniel Myrick, Blair Witch kenyataannya memang terlihat bagai penghormatan terselubung, ketimbang sekuel yang idenya murni dari otak Adam dan Simon kampret. Jika diperhatikan dengan baik, konsepnya sebenarnya tinggal nyomot dari The Blair Witch Project, kemudian dilebur jadi satu bersama elemen-elemen tambahan Adam, termasuk ekstra jump scare, penampakan yang intensitasnya dinaikkan, dan tak lupa peralatan perekam yang jauh lebih canggih daripada yang dibawa oleh Heather dan timnya.
Train to Busan, tak sekedar mengangkut ketegangan dalam gerbong-gerbongnya, film Korea tidak bisa disebut “film Korea” jika belum menyusupkan drama yang sanggup mengobrak-abrik emosi penontonnya. Korea memang punya gaya khas yang membuat film horor ataupun thriller-nya berbeda dengan kebanyakan film sejenis dari negara lain. Di tengah rangkaian gerbong yang kacau dan berantakan Yeon Sang-ho tidak ketinggalan menyelipkan adegan-adegan yang bisa dibilang lebih “horor” dari penampakan zombie-zombie beringas nan ganas dalam kereta. Porsi drama tersebut—walaupun agak menyek-menyek untuk selera saya—jadi semacam penghubung yang dibutuhkan sebagai pengikat chemistry, kita tak saja diajak bersenang-senang melihat penumpang kereta berjibaku melawan zombie, tapi juga dibuat peduli dengan karakter-karakternya sampai credit menggulung. Train to Busan memberikan pengalaman jalan-jalan naik kereta yang berkesan dan menyenangkan, tontonan film zombie berskala gila-gilaan yang sudah lama saya idam-idamkan.
Dari adegan Maria kerasukan iblis laknat hingga Adam gotong-gotong pocong, si Syamsul paham betul bagaimana menciptakan suatu kengerian di Munafik, tanpa harus melulu bergantung pada jump scare. Pola menakuti yang dipakai Syamsul sebetulnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukannya ketika menyerang nyali penontonnya di Khurafat. Permainan suara dan atmosfir mencekam masih menjadi andalan Syamsul untuk merangsang rasa takut, bisa dibilang saya sudah lebih dulu dibuat dag-dig-dug-ciut sebelum penampakannya dimunculkan. Well, untuk urusan penampakan pun Syamsul tidak sembarangan dan menempatkan para pemainnya yang sudah dipermak jadi hantu di posisi yang tak diduga-duga, plus dengan waktu kemunculan yang pas untuk memaksimalkan daya kejutnya. Dampak kejutan yang pengaruhnya lebih terasa ketimbang jump scare murahan yang hanya mengandalkan efek suara tidak karuan yang volume-nya ditinggikan. Saya puas sekaligus menikmati suguhan uji nyali yang dipersiapkan matang oleh Syamsul Yusof di Munafik, salah satu film horor menyeramkan tahun ini.
Percayalah, alur yang merangkak tidak akan mengganggu kenikmatan menonton 10 Cloverfield Lane, justru memperlihatkan kelebihan seorang Dan Trachtenberg dalam menggarap debut filmnya, memanfaatkan dengan baik setiap detik durasi untuk menumpuk penasaran, pertanyaan dan rasa peduli terhadap karakternya. Mungkin banyak yang bertanya dimana horornya 10 Cloverfield Lane? Well, saya hanya bisa bilang tontonlah untuk bisa merasakan terkurung bersama orang gila seperti John Goodman, karena menurut saya, horor tidak melulu bersumber dari dedemit. Dan Trachtenberg menawarkan rasa ketakutan yang begitu terasa real, dengan penyampaian cerita yang mencengkram pelan-pelan, tidak membiarkan penonton untuk mengalihkan pandangan dari layar bioskop, lagipula mubajirlah tak fokus melihat Mary Elizabeth Winstead dengan hiasan tali BH. Didukung oleh permainan akting gila dari MEW serta John Goodman, 10 Cloverfield Lane adalah film luar biasa anjing, thriller minimalis dengan campuran fiksi ilmiah, horor dan misteri yang dipenuhi kejutan-kejutan brengsek nan mencengangkan.
Konsep dasarnya The Conjuring 2 semacam mengingatkan saya kalau Iblis punya berbagai macam cara untuk menjerumuskan anak-cucu adam terbakar di neraka jahanam. Berbagai bentuk trik Iblis laknat untuk menggoyah iman serta merusak ketaatan manusia pada Tuhan dipertontonkan oleh si James Wan dengan creepy, seram dan juga mengerikan. Iblis bisa berwujud apapun demi tujuan utamanya untuk menyesatkan manusia, oleh James Wan ini divisualkan lewat penampakan biarawati yang mirip Marilyn Manson. Kemunculannya yang seperti ketumpahan tepung campur tinta cumi-cumi jelas bukan hanya untuk menakuti, tetapi juga sebagai simbol penghancur orang-orang beriman, yang di film terwakili oleh duo Ed dan Lorraine Warren. Alasan saya menonton The Conjuring 2 tentu saja ingin merasakan kembali pengalaman ditakuti-takuti oleh James Wan, bagaimana dia membangun rasa ngeri yang tidak tipu-tipu dan rasa cekam yang brengsek. Tapi kemudian The Conjuring 2 ternyata memberikan suguhan menarik lainnya, yaitu sisi religius yang tampil berdampingan bersama teror Valak.
Apabila sudah terbiasa dengan thriller Korea Selatan, formula penceritaan di The Wailing bakal terasa sangat familiar, Na Hong-jin mula-mula akan mengajak kita untuk menikmati tiap kekonyolan dan kebodohan yang datangnya dari Jong-Goo. Bagaimana film-film thriller Korea Selatan menciptakan karakter utamanya bisa disebut ajaib, tapi disitulah sumber keunikannya, dan saya selalu bisa terhubung dengan mereka, termasuk Jong-Goo yang tampangnya menggelikan. Orang-orang biasa yang (terpaksa) berhadapan dengan brutalnya hidup, template inilah yang menjadikan karakter di film-film thriller Korea Selatan terlihat lebih manusiawi dan tidak dibuat-buat. Perlakuan Na Hong-jin terhadap karakternya tak sekedar membuat mereka hanya menjadi bahan tontonan, tapi juga menciptakan koneksi dengan penontonnya. Sambil kita perlahan diseret-seret lebih jauh masuk dalam pusaran misteri yang dipenuhi kengehean dan keanjingan (bahasa planet mana pula ini), Na Hong-jin juga memperlihatkan bangunan karakter yang menarik di The Wailing, Jong-Goo yang kalem ternyata bisa berubah jadi buas.
Sedikit tahu tentang Don’t Breathe maka akan lebih baik, jadi beruntung orang-orang yang datang ke bioskop bermodal pengetahuan minim dari hanya melihat poster, lalu berekspektasi menonton film rumah berhantu. Tidak bisa bayangkan bagaimana raut wajah mereka ketika menyadari ternyata Fede Alvarez membuat film horor tanpa penampakan, sebagai gantinya ada Stephen Lang yang tak kalah menyeramkan dari dedemit penunggu kabin tua di tengah hutan. Well, hanya ada dua kemungkinan: mereka terkejut dengan muka penuh senyum atau sebaliknya manyun karena merasa sudah kena tipu oleh poster. Sedangkan saya sendiri ada di posisi orang yang tanpa sengaja ter-spoiler-kan, agak kesal tetapi saya percaya Fede mengarahkan Don’t Breathe tak sekedar untuk memanjakan penonton yang mementingkan sebuah twist. Karena pada akhirnya, apa yang menjadikan Don’t Breathe berhasil sebagai film horor yang ngehe, bukan saja bersumber dari twist yang bikin hidung saya mimisan, tapi juga dari cara Fede menyiapkan permainan “kucing-kucingan” yang menyesakan selama 90 menit.
Last Shift jelas sudah mengingatkan lagi kenapa saya menyukai film horor, tak saja pada akhirnya saya bisa merasakan asyiknya ditakut-takuti, tapi juga karena usaha maksimal DiBlasi dalam menghadirkan ke-creepy-an yang menyenangkan. Sambil berselimut misteri, untuk menciptakan rasa takut pun DiBlasi tak sekedar mengandalkan penampakan-penampakan saja, tapi juga memanfaatkan beragam bebunyian yang bisa dibilang punya efek yang brengsek dalam membuat seluruh tubuh saya bergidik. Sound design-nya betul-betul berhasil hadirkan suasana tak nyaman, membuat gelisah dan paranoid setengah gila. Cara DiBlasi membangun ketakutan memang terbukti ampuh, bahkan sebelum film ini mempertontonkan penampakan-penampakannya, segala bebunyian berisik itu membuat merinding sejak awal. Ketika tiba waktunya Last Shift memunculkan wujud-wujud serem, film ini pun tak hanya menawarkan momen-momen mengagetkan yang bedebah, tapi juga melakukannya dengan trik-trik mengejutkan yang bisa dikatakan tidak disangka-sangka sebelumnya.
Under the Shadow adalah horor yang sebetulnya tampil dengan kesederhanaan, “rendah hati” dalam menakut-nakuti, tapi efeknya begitu efektif saat mengurung penonton dalam rasa cemas, gelisah, takut dan tidak nyaman. Didukung oleh tata suara yang didesain untuk merangsang suasana mencekam, Babak Anvari hanya tinggal menerbang-nerbangkan kain dan adegan itu jadi seram luar biasa. Untuk mereka yang menyukai metode ditakut-takuti yang dipakai oleh Jennifer Kent di The Babadook, pastinya bakal menikmati cara Babak Anvari menghadirkan rasa ngeri yang bisa dibilang serupa. Penonton tidak sekedar mendapatkan seramnya tapi juga rasa pusing tujuh keliling, ikut merasakan apa yang Shideh rasakan saat menghadapi tingkah Dorsa yang semakin menyusahkan. Interaksi antara Shideh dan Dorsa ini jadi daya tarik tersendiri di Under the Shadow, pertunjukan akting memukau yang kemudian menciptakan kepedulian terhadap karakternya. Babak telah memberikan saya pengalaman menonton yang benar-benar menyeramkan, salah satu horor terbaik dan paling membuat uring-uringan tahun ini, bersiaplah untuk ketakutan dan jangan lupa berdoa.