Memperingati 20 tahun karya-karyanya di industri anime Jepang, Tokyo International Film Festival (TIFF/TIFFJP) tahun ini mempersembahkan segmen spesial retrospektif bagi Mamoru Hosoda, sutradara film-film anime terkenal dari The Girl Who Leapt Through Time (2006) hingga The Boy and the Beast yang menjadi film layar lebar berpenghasilan tertinggi di tahun 2015 dengan rekor domestik hampir mencapai 60 juta dolar AS.
Segmen ini merupakan gelaran retrospektif pertama kali bagi Hosoda seperti diakuinya kala menyapa para penggemarnya di Tokyo. Dibandrol dengan judul The World of Mamoru Hosoda, segmen ini bukan saja menayangkan 4 film layar lebarnya selain 2 judul di atas, Summer Wars (2009) dan Wolf Children (2012), namun juga akar karya Hosoda di industrinya, animasi-animasi pendek seperti Digimon Adventure (1999-2000) dan Ashita no Nadja (2003) berikut event special talk show yang membahas karya-karya tersebut.
Sutradara berusia 49 tahun ini pertama kali belajar teknik oil painting yang masih diteruskannya hingga sekarang di Kanazawa College of Art yang juga merupakan almamater kreator video game Nintendo Shigeru Miyamoto, sebelum kemudian memulai karirnya di Toei Animation. Di sana, ia sempat membuat beberapa episode dalam franchise Digimon dan berpindah ke Madhouse di tahun 2005 sebelum akhirnya mendirikan Chizu Studio miliknya di tahun 2011.
Pada tanggal 26 Oktober lalu, usai penayangan Wolf Children di TOHO Cinema Roppongi Hills, Hosoda hadir bersama sutradara ternama Jepang Hirokazu Kore-eda (Nobody Knows, Like Father Like Son, Our Little Sister) untuk membicarakan kesamaan-kesamaan paralel dalam karya mereka berdua. Walaupun ada di jalur yang berbeda, dimana Hosoda lebih dikenal dalam film-film anime blockbuster dan Kore-eda ada di jalur live-action yang lebih naturalis serta kontemplatif, kedua sutradara ini mengatakan bahwa mereka banyak menemukan motif-motif yang sama dalam karya mereka.
Dikenal sebagai sineas yang kerap berbicara soal keluarga dalam film-filmnya, Hosoda dan Kore-eda mengaku bahwa ada rasa kehilangan sosok ayah dari keduanya. Hosoda mengetengahkan hal ini dalam The Boy and the Beast sementara Kore-eda lewat Like Father Like Son. Walau tumbuh besar tanpa seorang ayah, ada kerinduan terhadap sosoknya yang hadir lewat film-film itu.
Begitu pula tentang karakter ibu, dimana Hosoda yang mengaku kehilangan ibunya saat ia membuat Summer Wars setelah menderita sakit selama 10 tahun lantas mereprentasikan sosok single mother yang membesarkan dua anak dalam Wolf Children, sementara Kore-eda, dalam karya terbarunya After the Storm membangun karakter utama lewat aktris Kirin Kiki berdasar sosok ibunya sendiri. Ia bahkan memberikan kartu pos, lukisan serta kacamata sang ibu pada Kiki agar bisa benar-benar masuk menyelami karakter tersebut.
Dalam stage appearance dan sesi Q & A setelah penayangan The Girl Who Leapt Through Time selang dua hari berikutnya, Hosoda mengatakan bahwa ia benar-benar tak menyangka bahwa film yang sudah berusia lebih dari 10 tahun lalu itu tetap dihadiri begitu banyak pemirsa dan mendapatkan sambutan semeriah saat filmnya dirilis dulu.
Dalam sesi itu, ketimbang menjadi tema utama, Hosoda mengatakan bahwa keluarga sebenarnya lebih menjadi motif dalam menghadirkan tawa serta tangis atas kisah-kisah pertemuan dan perpisahan. Hosoda juga mengaku bahwa karakter-karakternya rata-rata memuat sisi tumbuh kembang anak, dari The Girl who Leapt Through Time dengan karakter Makoto yang bisa kembali ke masa lalu hingga karakter Kyuta yang menjadi murid seorang monster bernama Kumatetsu setelah kehilangan ibunya yang meninggal dan ayah yang pergi entah kemana dalam The Boy and the Beast. Ia merasa karakter-karakter itu secara jujur merupakan gambaran hidup serta visinya dalam berbicara soal kekuatan keluarga.
Hosoda juga menjelaskan idealismenya menggunakan teknik lukisan ketimbang mengikuti tren teknologi digital dalam pembuatan animasi. Seperti melihat lukisan berusia ribuan tahun di sebuah museum, ia merasa bahwa kultur ini perlu dilestarikan di industri animasi mana pun, selain adanya perbedaan dalam emosi-emosi yang bisa dipresentasikan lewat lukisan lebih dari teknik digital.
Tidak hanya menjadi perayaan 20 tahun berkarir bagi Hosoda, menurutnya, segmen retrospeksi ini diharapkan dapat membawa tiap pemirsanya mengenali dunia serta alam pikiran seorang Mamoru Hosoda yang sudah membuatnya menjadi salah satu nama terdepan dalam industri anime Jepang.
Laporan oleh Daniel Irawan (@danieldokter) langsung dari Tokyo.