Selama enam dekade, perfilman dunia selalu menyimak film-film kreasi Alan Resnais. Sineas berdarah Perancis kelahiran 3 Juni 1922 ini telah menghadirkan untuk kita, para penikmat film, beberapa film klasik yang tak terlupakan. Sebut saja Hiroshima mon amour (1959), Last Year at Marienbad (1961), atau Muriel (1963).
Tapi filmografi Resnais tidak meliputi beberapa judul itu saja. Dalam rentang panjang karirnya, ia termasuk sutradara yang cukup produktif. Bahkan di usia sepuh, ia masih mengerjakan beberapa film, termasuk yang terakhir You Ain't Seen Nothin' Yet! (2012) dan yang terbaru Life of Riley (2013), yang juga turut memeriahkan Berlinale tahun ini.
Sayangnya, Resnais harus meninggalkan kita untuk selamanya. Pada hari Sabtu, 1 Maret 2014 yang lalu, ia menutup mata untuk selama-lamanya di usia 91 tahun. Wafatnya Resnais ini dikonfirmasi oleh Presiden Perancis, François Hollande, yang menyebut Resnais sebagai salah satu pembuat film terhebat yang dimiliki oleh Perancis.
Alan Resnais berperan penting dalam mengenalkan kesusasteraan moderen kedalam film dan kemudian menjadi populer berkat pendekatannya yang non-liner di beberapa filmnya.
Meskipun namanya kerap dihubung-hubungkan dengan gerakan baru perfilman Perancis (New Wave) yang digawangi antaranya oleh Jean-Luc Godard dan François Truffaut, akan tetapi sebenarnya Resnais lebih bisa diasosiasikan dengan tradisi intelektualisme Left Bank yang lebih mapan, dan lebih memiliki keterikatan dengan budaya tinggi daripada penggaruh filmsentris yang menjadi landasan New Wave.
Jika Godard memiliki Breathless atau À bout de souffle (1960) yang merupakan semacam pastiche kepada film-film gangster Amerika berbujet rendah, maka Resnais memiliki Hiroshima Mon Amour yang meski berbungkus kisah cinta akan tetapi memiliki kandungan aspek sosial politis yang kental serta dikerjakan dengan artistik yang cukup terjaga.
Untuk menulis naskah film, Resnais mengajak penulis bernama Marguerite Duras, yang dikenal sebagai salah satu sosok bersinar di gerakan “nouveau roman” yang biasa menantang narasi sastra konvensional.
Resnais melanjutkan kerjasamanya dengan penulis “nouveau roman” dalam film-film berikutnya, seperti Alain Robbe-Grillet untuk Last Year at Marienbad atau penulis asal Spnyaol, Jorge Semprún untuk Guerre Est Finie (1966) dan Stavisky... (1974).
Mengenai struktur filmnya yang unik, mungkin kutipan wawncaranya dengan François Chalais bisa menjadi acuan. Menurutnya,"I don’t believe it is really a riddle to be solved. Every spectator can find his own interpretation, and it’s likely to be the right one.”
Meskipun selalu mengerjakan film-film dengan tone yang serius akan tetapi sebenarnya Resnais memiliki sisi riang dan lucu. Bahkan ia menyebtkan jika serial komedia Curb Your Enthusiasm sebagai favoritnya. Dan ia pernah mengerjakan naskah berbau komik bersama dengan Jules Feiffer di film I Want to Go Home (1989) yang mana ia menyebutkan dalam sebuah wawancara jika ia ingin film tersebut memiliki efek “cheerful desolation.”
Dilahirkan di desa bernama Vannes, Resnais sudah tertarik dengan film semenjak kecil dan pada usia 14 dia mengerjakan film pertamanya dalam format 8mm yang bertajuk, L’Aventure de Guy, yang terinspirasi oleh serial karya Louis Feuillade Fantômas. Sayang, kopi film tersebut kini tak bersisa, sebagaimana banyak film Resnais di awal karirnya.
Pada tahun 1939 ia pindah ke Paris dan mulai mempelajari seni peran. Pada tahun 1946, ia mengarahkan film 16mm pertamanya, sebuah komedi surealis berjudul Schéma d’une Identification (Outline of an Identification), dan membujuk tetangganya, seorang artis bernama Gérard Philipe, untuk meminjamkan namanya di proyek ini. Disusul kemudian dengan film panjang berjudul Ouvert Pour Cause d’Inventaire (Open on Account of Inventory). Film-film ini juga diperkirakan sudah hilang.
Di sepanjang karirnya, film-film Resnais telah berperan sebagai bagian dari sejarah film dunia. Tidak heran jika Festival Film Cannes di tahun 2009 Alan Resnais menerima penghargaan Lifetime Achievement. Mengomentari ini, dia berkata, "I’ve read articles calling me a filmmaker of memory. I’ve always refused that label by saying, ‘No, I want to make films that describe the imaginary.’ ”
Meski film-filmnya kini bergerak ke arah yang lebih "ringan" dibanding masa awal karirnya, akan tetapi Alan Resnais akan selalu dikenang sebagai salah satu maestro sinema ternama dunia.
Au revoir, Monsieur Resnais. Will be missed.
(Disarikan dari artikel The New York Times)