Dedi (Dede Yusuf) hanyalah seorang penghibur di taman hiburan, pekerjaannya menjadi badut membuat dia dan keluarga hidup serba kekurangan, namun bersama istrinya Menul (Ayu Azhari) dan anak satu-satunya yang selalu ingin macam-macam—apel dan sambal goreng ati—kehidupan Dedi sepertinya tidak pernah saling kekurangan kasih sayang dan kebahagiaan, walau misalnya mereka terancam diusir dari rumah karena tidak sanggu membayar sewa, Dedi dan keluarga masih bisa tertawa di sela-sela keprihatinan mereka. Roda nasib pun berputar ketika Dedi menemukan segepok uang milik orang kaya yang ditemukan di tempat dia bekerja, kejujuran Dedi membuat pemilik uang tersebut bangga dan bahkan memberi modal untuk membuka warung. Sayangnya warung yang diberi nama “Warung Ny. Menul” ini jarang dikunjungi, karena tempatnya yang tidak terlalu strategis. Dedi tidak kehilangan akal, dibantu oleh Pak Chairul yang seorang sutradara pengangguran dan temannya yang juga mem-badut, warung dijadikan layaknya syuting film, mengajak banyak figuran, dan Pak Chairul mengarahkan mereka. Warung pun jadi ramai, tapi tunggu dulu mereka yang datang ke warung hanya aktor yang berpura-pura agar memancing pelanggan betulan untuk datang dan makan. Walau pada akhirnya cara ini juga gagal, tapi Dedi tidak kenal lelah terus diuji dan pantang menyerah.
“Badut-Badut Kota” (1993) dilihat sekilas lewat cerita diatas memang akan tampak bagai film yang berniat akan memborong air mata penonton, menjambret senyuman dan menyisakan keharuan. Eits… jangan pusing dulu karena seperti judulnya yang membawa kata-kata badut didalamnya, film ini juga terkemas layaknya dibalut kostum badut. Dari menit awal sampai detik terakhir film, penonton tidak akan ada habis-habisnya digenjot kehabisan air mata, bukan menangis karena sedih tetapi justru sebaliknya terlalu senang. “Badut-Badut Kota” lewat akting pemain-pemainnya yang tidak berlebihan sanggup mengumpani para penonton dengan komedi-komedi yang tepat sasaran menggelitik syaraf “gila”. Situasi-situasi yang seharusnya menyedihkan justru malah sebaliknya jadi atraksi obral humor. Rumah Dedi yang kecil bisa jadi panggung komedi, sepertinya film ini memang punya jimat ampuh untuk membuat penontonnya tidak bosan, jimat yang berasal dari komedi-komedinya yang memang murni lucu tidak dibuat-buat.
Namun dibalik kostum badut tersebut, “Badut-Badut Kota” menyimpan sindiran-sindiran yang tersembunyi rapih, kadang terlihat jelas, terkadang juga sindiran cerdas yang harus dicerna beberapa saat baru mengerti maksudnya. Mungkin lewat cara yang dipakai film inilah, kritikan-kritikan terhadap sesuatu yang dianggap salah bisa dilampiaskan, tidak telanjang dalam mengkritik namun berucap dalam lapis demi lapis sindiran lalu dikemas dengan pita komedi. “Badut-Badut Kota” selain ingin menghibur juga sekaligus bisa punya keinginan untuk “berteriak” tapi tentunya dalam koridor-koridor halus, yah lewat komedi satir seperti ini dan sangat wajar jika sindiran tersebut tidak terlalu “vulgar”, beradaptasi dengan jaman yang masih “sensitif” dengan kebebasan yang berharga mahal, tapi setidaknya “Badut-Badut Kota” dengan tampilannya yang berkostum berwarna-warni lengkap dengan topeng yang selalu tersenyum sanggup “menyentil” siapa saja yang kala itu merasa tersindir. Jenius dalam menyentil sekaligus pembuat onar dibioskop karena menjadi biang setiap tawa yang keluar dari mulut penonton. Ucik Supra yang jadi “biang kerok” alias sutradara yang merangkap juga penulis skenario telah sukses meracik hiburan yang tidak asal bunyi tetapi hiburan dengan komedi-komedi yang berisi, tidak asal berbicara kekonyolan melainkan juga celotehan lucu yang mengajak penonton untuk berpikir sejenak. Lucunya lagi apa yang disindirkan “Badut-Badut Kota” dari pemerintah sampai perfilman Indonesia, semua masih cocok-cocok saja untuk ditempatkan pada hari ini, setelah 18 tahun film ini rilis. Negeri ini memang tidak banyak berubah, jadi pusing!
Produser: Budiati Abiyoga
Sutradara: Ucik Supra
Penulis: Ucik Supra, Ucik Supra
Pemeran: Ayu Azhari, Dede Yusuf