Feature


Kamis, 03 Maret 2011 - 17:17:18 WIB
BFN 2011: Sorga yang Hilang (Si Buta dari Goa Hantu)
Diposting oleh : Rangga Adithia (@adithiarangga) - Dibaca: 2323 kali

“Sorga Yang Hilang” (1977) bisa jadi salah persepsi ketika kita melihat atau mendengar judulnya untuk pertama kali, tanpa melihat sinopsis dan data film, mungkin terbayang di benak kita ini adalah film drama mengharukan. Namun sebenarnya film yang disutradarai oleh Pitrajaya Burnama ini adalah salah-satu dari seri “Si Buta dari Goa Hantu”, dan jika diurut dari tanggal pembuatan, “Sorga Yang Hilang” merupakan film kedua dari total lima film kisah Si Buta dari Goa Hantu yang diangkat ke layar lebar. “Superhero” lokal yang awalnya tercipta dari komik karya Ganes TH ini mulai diadaptasi menjadi film layar lebar pada tahun 1970, lewat film “Si Buta dari Goa Hantu”, dengan Lilik Sudjio duduk di kursi sutradara dan Ratno Timoer menjadi Si Buta dari Goa Hantu. Ratno Timoer pun nantinya akan membintangi lakon yang sama untuk ke-empat seri berikutnya, “Sorga Yang Hilang”, lalu “Duel di Kawah Bromo” (1977), “Neraka Perut Bumi” (1985), dan “Lembah Tengkorak” (1990), bahkan kedua film terakhir disutradarai sendiri oleh Ratno.

Di film ini Barda Mandrawata alias Si Buta, diceritakan berpapasan dengan keluarga kerajaan yang diserang gerombolan penjahat, Si Buta berhasil menyelamatkan si anak, tapi kehilangan ibunya yang terbunuh. Tergerak oleh pesan terakhir si ibu, Si Buta pun akhirnya mengantarkan si anak ke negeri Donggala, dimana ayah anak itu berada, namun diperjalanan dia kehilangan si anak yang diculik oleh seorang perempuan sakti, ketika dalam pengejaran mencari si penculik, Si Buta justru dihadang seorang penyihir yang sangat sakti, terjadilah pertarungan sengit yang mengakibatkan Si Buta terluka parah dan hanyut di sungai. Beruntung dia sampai di sebuah kerajaan Sarpaloka dan ditolong oleh putri raja lalu dirawat hingga sembuh. Dari Raja dan putrinya, Si Buta mendapati bahwa kerajaan ini sudah lama jauh dari kedamaian, sejak dipimpin oleh komplotan orang-orang sakti yang menyebut diri mereka sebagai pendeta, termasuk diantaranya penyihir yang menyerang Si Buta. Merasa terpanggil untuk membela kebenaran, Si Buta pun akhirnya masuk ke “sarang ular” dan sekali lagi akan terlibat pertempuran.

Menonton film-film action apalagi yang menyuguhkan karakter asli negeri sendiri sudah jadi barang langka sekarang-sekarang ini, ketika sinema lokal lebih didominasi film-film horor tidak jelas. Kebanyakan film-film macam “Si Buta dari Goa Hantu” ini hanya betah mengantri di tahun 70an sampai 90an awal, dari berderetnya film-film laga beraneka ragam cerita dan tokoh, kita pun mengenal Barry Prima yang terkenal lewat film seperti seri “Jaka Sembung” dan satu lagi Advent Bangun, yang kita bisa lihat “kesaktiannya” di film “Golok Setan” atau “Bangkitnya si Mata Malaikat”. Dulu film-film bertema laga masih sering hilir mudik di stasiun televisi lokal, tapi makin kesini, film-film tersebut pun makin “binasa” dari layar kaca digantikan oleh tayangan “masa kini” (sinetron dkk). Sayang memang, karena film-film laga Indonesia yang bisa dibilang klasik dan menjadi bagian dari sejarah perfilman tanah air harus pudar dari ingatan penontonnya.

Beruntung, masih ada yang peduli dan juga berusaha menjaga ingatan akan film-film Indonesia klasik sekaligus menghidupkan kembali sejarah perfilman tanah air, tidak hanya bertema laga tapi drama dan juga horor, salah-satunya adalah program tahunan dari Kineforum beserta Dewan Kesenian Jakarta, yang di tahun ke-lima ini masih bersemangat untuk hadirkan “Sejarah Adalah Sekarang” (Bulan Film Nasional), sebuah “pesta” untuk menyambut Hari Film Nasional yang jatuh pada tanggal 30 Maret. Paket acaranya komplit, termasuk pemutaran film-film Indonesia, dari yang klasik sampai yang modern dengan variasi tema, untuk tahun ini saja total ada kurang lebih 45 film yang akan diputar, dari karya-karya Usmar Ismail sampai film slasher “Rumah Dara”, dari superhero jadul macam Gundala Putra Petir sampai Madame X, yang rilis 2010 lalu. Kenapa saya bilang beruntung? karena tidak hanya sebagai ajang apresiasi film Indonesia tetapi juga “kapan lagi bisa menikmati klasiknya film-film ini di layar lebar”.

Kembali ke “Sorga Yang Hilang”, membandingkan film ini dengan film-film aksi laga zaman sekarang rasanya memang tidak perlu atau bahkan membandingkan efek-efek visual yang berterbangan kesana-kemari. Inti film ini adalah beraksi untuk menghibur para penonton, walau tidak dipungkiri dengan jalanan cerita yang ringan dan penuh plothole dimana-mana hasilnya adalah nilai minus. Namun justru faktor kekurangan itu yang justru menjadi hiburan tersendiri ketika menonton aksi adu kesaktian dan beladiri di film ini, pernak-pernik efek yang mungkin luar biasa pada zamannya, jadi pemancing senyum ketika menonton film ini pada era dimana efek visual dan CGI sudah canggih. Apalagi ketika tahu bahwa “Sorga Yang Hilang” tidak hanya diisi dengan deretan aksi beladiri, pertarungan yang maha seru namun juga didampingi dengan dialog-dialog yang juga tak mau kalah dalam urusan “bersilat” kata, pemilihan kata-kata yang sudah langka terdengar di film-film hari ini, puitis sekaligus menggelitik, tidak jarang saya tertawa tapi tetap kagum dengan setiap dialognya. Film ini seperti ingin membuktikan walau banyak adegan kasar, tapi sanggup mengimbanginya dengan dialog yang manis. Film “Sorga Yang Hilang” betul-betul membuat saya rindu akan film-film laga Indonesia.

Produser: Hatoek Soebroto
Sutradara: Pitrajaya Burnama
Penulis: Ratno Timoer, Pitrajaya Burnama, Ganes TH
Pemeran: Ratno Timoer, Kandar Sinyo, Hadisjam Tahax, Maruli Sitompul, Torro Margens


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.