Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan adalah sebuah film dokumenter terbaru produksi Forum Lenteng, sebuah komunitas film yang berbasis di Jakarta sejak tahun 2003 dan fokus kegiatannya adalah produksi dan distribusi pengetahuan lewat media audio visual.
Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan adalah film esai yang diproduksi oleh Milisifilem Collective sebagai bagian dari program edukasi Forum Lenteng. Film ini pertama kali World Premiere (pemutaran pertama kali di dunia) di EXiS Experimental Film and Video Festival di Seoul, Korea Selatan pada bulan Juli 2022, pernah diputar dalam Reassemblage Summer Film Screening di Toronto, Kanada pada bulan September 2022.
Disutradarai oleh I Gde Mika (Mataram, NTB) dan Yuki Aditya (DKI Jakarta), serta diproduseri oleh Hafiz Rancajale (DKI Jakarta ), Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan tercatat sebagai salah satu peraih nominasi Piala Citra di kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2022.
Dan untuk pertama kalinya, film pun akan meluncurkan penayangan perdananya pada hari Senin, 31 Oktober 2022, mulai pukul 19.00 WIB dan berlokasi di Cinema Hall - Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail Jalan H.R. Rasuna Said, Kav C no. 22, Kuningan, Jakarta Selatan (sebelah Plaza Festival).
Berikut pernyataan sutradara untuk filmnya:
Film dokumenter ini mengambil pendekatan esai yang mana interpretasi subjektif pembuat kuat dihadirkan untuk mendadar dan menginterpretasi ulang gagasan dan permasalahan yang dikemukakan dalam film. Tema besar dari film ini adalah tentang sejarah sinema Indonesia pada masa Orde Baru dan materi visualnya citra-citra film yang sebagian besar diambil dari materi digital dari kanal-kanal publik dunia maya, misalnya Youtube, untuk berbicara tentang artefak sejarah yang ikut dilestarikan oleh masyarakat umum. Film esai ini berangkat dari suatu pertanyaan bagaimana masyarakat suatu bangsa hidup di bawah salah satu rezim yang kepemimpinannya paling panjang dalam sejarah dunia modern. Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto lahir atas kritik rakyat lewat tiga tuntutannya terkait situasi dan kondisi Indonesia yang terus larut dalam ketimpangan ekonomi dan kegaduhan politik pasca kemerdekaan. Ia adalah suatu rezim yang sadar menggunakan sinema sebagai salah satu alat untuk memberitakan kabar terkini pembangunan negara dan melanggengkan kekuasaannya melalui pola-pola narasi dan aturan yang saling terjalin erat di tengah perkembangan teknologi komunikasi yang gencar secara visual hadir sampai ke ruang-ruang keluarga lewat televisi.
Kami menggunakan pendekatan esai untuk mendistorsi perspektif dominan dalam sinema Orde Baru dengan memberi konteks dan interpretasi baru. Film sebagai wacana, lewat pembacaan konstruksi visual dan narasi yang punya konsekuensi politis. Esai ini adalah bacaan alternatif terhadap penulisan sejarah rezim Orde Baru lewat sinemanya. Sebagian besar nasib film-film yang kami bahas dalam esai ini tersebar secara bebas dalam dunia maya berkelana dari satu salinan ke salinan lainnya terlestarikan melalui tangan-tangan tanpa nama (anonimus), netizen (warga internet) yang memiliki peran politis sebagai penonton sekaligus distributor yang mempertemukan film dengan penonton lainnya.
Pada masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998), di bawah kepemimpinan presiden Soeharto, Sinema Indonesia melahirkan nama-nama besar yang masih dibicarakan sampai sekarang. Masa saat sensor beroperasi dengan ketat dalam mengatur serta menjaga narasi yang boleh tampil ataupun tidak boleh ditampilkan di layar. Ini adalah masa yang mana oposisi hanya dapat direpresentasikan melalui sudut pandang pemerintahan Orde Baru sendiri, untuk merawat suatu kewaspadaan terhadap bahaya laten–musuh imajiner.
Periode pemerintahan tersebut juga merupakan periode yang mana perkembangan wacana pemikiran dunia sedang bergolak riuh-gemuruh, tak terkecuali di sinema. Kita bisa melacak dari kemunculan gerakan-gerakan seperti; gelombang baru sinema Prancis, gerakan sinema Ketiga di Amerika Latin, gerakan Kitchen Sink sinema di Inggris, gerakan bawah tanah film eksperimental Jepang dan Amerika Serikat, gelombang baru sinema India, gelombang baru sinema Afrika, dan lainnya yang saling terhubung satu sama lainnya. Sedangkan di Indonesia yang bentuk masyarakatnya lekat dengan kata kolektif dan gotong-royong, kata manifesto bersama sebagai suatu gerakan yang kritis terhadap persoalan berbangsa dan bernegara saat itu adalah sesuatu yang langka terdengar dalam ranah sinema. Sensor yang ketat kerap dijadikan salah satu argumen.
Dalam film esai ini kami coba melacak bentuk-bentuk kritisisme yang dilakukan oleh orang-perorang di tengah suatu narasi besar dalam sinema masa Orde Baru, seperti lewat strategi narasi dan artistiknya untuk bicara persoalan dan situasi di tengah masyarakat Indonesia saat itu dengan latar lokasi yang sebagian besar adalah Jakarta, pusat sinema Orde Baru. Kami juga coba tengok figur-figur yang coba bicara perkara ingatan-ingatan mereka atau coba menghapusnya. Mereka-mereka yang naif dan merasa geram terhadap ketidakadilan dan mereka-mereka yang menaruh harap pada munculnya masyarakat yang benar-benar baru. Mereka-mereka yang menaruh harap pada bentuk masyarakat yang mana tidak menutup jalan para si pejalan kaki, seiring perjalanan tubuh-tubuh yang terus bergerak menelusuri ruang-ruang kota. Jakarta dalam film-film tersebut adalah lokasi yang memungkinkan keluarga dibentuk dari pertemuan tak disengaja dari orang-orang yang awalnya tak saling kenal dan tidak saling tahu. Yang awalnya tak terencana, hingga menjadi sebuah agenda baru yang solider.
Pemutaran film ini diadakan secara gratis dan jika hendak menghadiri bisa mendaftarkan diri melalui tautan bit.ly/SegudangWajahPremiere.
Simak trailer Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan di bawah ini: