Feature


Sabtu, 12 Desember 2020 - 14:42:12 WIB
The Science of Fictions Menghadirkan Pengalaman Sinema Yang Berbeda
Diposting oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 1958 kali

Film produksi Angka Fortuna Sinema, Kawan Kawan  Media, Limaenam Films The Science of Fictions akhirnya tayang di bioskop nasional  mulai tayang 10 Desember. Sejak pertama kali melaksanakan premier dunia di Locarno  Film Festival 2019 (Swiss) dan kemudian berkeliling ke lima belas festival film  internasional, film ini kini dapat disaksikan di bioskop yang tersebar di seluruh Indonesia.  Film yang disutradarai dan ditulis oleh Yosep Anggi Noen ini dibintangi oleh Gunawan  Maryanto, Ecky Lamoh, Yudi Ahmad Tajudin, Lukman Sardi, Rusini, Asmara Abigail,  Alex Suhendra, dan Marissa Anita.  

Film ini juga baru  saja memenangkan Piala Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik yang diberikan kepada  Gunawan Maryanto. Di penghujung tahun 2019, film ini diganjar tiga gelar dari majalah  Tempo yaitu Film Pilihan Tempo, Sutradara Pilihan Tempo (Yosep Anggi Noen), dan  Aktor Pilihan Tempo (Gunawan Maryanto). Di tempat pemutaran perdananya, film ini  juga diberi Special Mention, 72 Locarno Film Festival, Concorso Internazionale, 2019. 

Reaksi penonton hari pertama tergolong meriah. Iqbal Kurniaone di Twitter memberikan  ulasannya, “Ajaib. Gila. Pengalaman nonton yang sangat nggak biasa bagi ane. Sedih dan  bangga, sineas Indonesia masih bisa membuat karya luar biasa ini.” Sedangkan Randy  Renaldy yang merupakan penonton pertama dari seluruh bioskop memberikan pujian di  Instagram, “Terima kasih telah membuat film yg begitu unik, luar biasa, beda dari yang  lain”. 

The Science of Fictions dimulai kisahnya pada tahun 1960-an, di Gumuk Pasir  Parangkusumo, Yogyakarta, Siman (diperankan oleh Gunawan Maryanto) melihat proses  shooting pendaratan manusia di bulan oleh kru asing. Dia tertangkap penjaga dan  dipotong lidahnya. Selama puluhan tahun, Siman bergerak pelan menirukan gerakan astronot di luar angkasa untuk membuktikan kebenaran pengalamannya. Siman dianggap  gila. 

Film The Science of Fictions menjanjikan sebuah eksplorasi visual dan penceritaan  yang berbeda dari film-film lainnya. Pengalaman sinema ini makin nikmat jika dirasakan di bioskop. Yosep Anggi Noen yang di film ini berkolaborasi bersama sinematografer  Teoh Gay Hian menjelaskan, “Film ini adalah tentang manusia yang bergerak pelan, jadi  kami membicarakan bagaimana seharusnya kamera merekam gerak Siman. Film ini  direkam dengan banyak jenis kamera; HD, handycam, GoPro, kamera slowspeed, drone  dan juga menunjukkan berbagai jenis kamera di layar termasuk roll film 16 mm. Konsep  ini saya rancang sebagai bentuk ‘main-main’ untuk menunjukkan lintasan teknologi audio visual yang aksesnya saat ini semakin mudah, ada di setiap tangan manusia, lekat dengan  tubuh dan semakin personal.” Baginya di jaman dulu, produksi moving image hanya bisa  dilakukan oleh pihak yang punya kuasa. “Itu yang mengakibatkan bukti-bukti sejarah seolah hanya bisa dikeluarkan oleh otoritas dan penguasa dan cenderung propaganda.  Saat ini, sejarah ditulis oleh masing-masing manusia, lalu ujian berikutnya adalah soal  kebenaran; rekaman siapa yang benar-benar benar? Tapi kami bicara ngalor-ngidul sambil ketawa-ketiwi soal konsep-konsep yang nampak rumit ini.” 

Inspirasi pembuatan film ini datang kepada Yosep Anggi Noen ketika ia melihat sebuah  lahan yang mirip dengan permukaan bulan di Parangkusumo, Bantul. “Lahan bernama  Gumuk Pasir itu memikat sekali secara visual dan lingkungan di sekitar Gumuk juga  menarik, ada karaoke murahan, ada lokasi manasik haji, ada lokasi tempat persembahan  kepada Ratu Laut Selatan, ada tempat ibadah, bahkan pada waktu-waktu tertentu ada  praktek prostitusi terselubung di sana,” ceritanya. “Saat saya menemukan betapa hiruk  pikuknya sebuah tempat tersebut, saya tergelitik juga untuk mengemas cerita di sana.  Saya lalu berangkat dari bulan, bagaimana jika pendaratan manusia di bulan itu ternyata  pengambilan gambarnya dilakukan di Gumuk Pasir? Saya menghubungkan dengan  konteks politik di Indonesia tahun 60-an, yang sampai saat ini kita tahu bahwa ada ruang  gelap sejarah saat perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto; berdarah-darah  sekaligus manipulatif. Pendaratan di bulan sebagai keberhasilan yang dirayakan secara  global dan politik yang manipulatif disaksikan oleh Siman, seorang petani biasa, manusia  yang sederhana yang dibisukan.” 

Produser The Science of Fictions Yulia Evina Bhara yang telah berkolaborasi  sebelumnya dengan Yosep Anggi Noen di film ‘Istirahatlah Kata-Kata’ mengatakan,  “Ketika disodorkan konsep dan cerita ‘The Science of Fictions, saya tak ragu dan  langsung bersedia terlibat. Pertama, karena cerita Siman buat saya sangat sangat relate dengan kehidupan sehari-hari tapi di saat yang sama juga saya merasa cara tutur film ini  belum pernah saya temukan di film Indonesia yang lain. Sebuah tantangan berat karena  tokoh utama tidak ada dialog selama film tapi saya yakin dengan visi artistic Anggi dan  Gunawan Maryanto pasti akan menghidupkan Siman. Yang paling menarik dari film ini  untuk film Indonesia adalah karena film ini memberikan perbendaharaan baru, cara tutur  sinema yang berbeda.”

Produser Edwin Nazir menambahkan, “The Science of Fictions adalah cerita yang  sangat kuat tentang kebenaran informasi, dalam premis yang sangat unik. Sesuatu yang  sangat relevan dengan kondisi Indonesia.” 

Saksikan The Science of Fictions di layar lebar dan rasakan pengalaman sinema yang  berbeda. 


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.