Feature


Selasa, 30 April 2019 - 20:34:04 WIB
Wawancara Eksklusif dengan Sutradara dan Pemain Film Thailand Berjudul Bikeman
Diposting oleh : Taufiqur Rizal (@TarizSolis) - Dibaca: 1642 kali

Sebuah wawancara oleh Daniel Irawan (@danieldokter) langsung dari Okinawa, Jepang.

Sebagai wakil Thailand di Okinawa International Movie Festival (OIMF) ke-11 tahun ini, Bikeman, komedi karya sutradara Prueksa Amaruji sudah mencetak kesuksesan saat dirilis akhir tahun lalu di negaranya. Jadwal rilis internasionalnya sendiri akan dimulai bulan depan di sejumlah negara Asia termasuk (semoga) Indonesia. Prueksa sudah dikenal lewat karya-karyanya di sejumlah serial sit-com dan satu film layar lebar, Miss Happy (2015), sementara yang lebih menjadi highlight tentu saja Pachara ‘Peach’ Chiratrivat yang sudah dikenal luas lewat SuckSeed dan The Billionaire (2011).

Sesuai judulnya, Bikeman adalah sebuah komedi kucing-kucingan tentang Sakkarin, pria 25 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi ojek dan berusaha menipu ibunya di balik penyamaran sebagai seorang bankir. Hanya saja, usaha ini mulai menuju kekacauan kala ia bertemu dengan gadis inceran masa SMU-nya, Jai (diperankan oleh Sanantachat ‘Fon’ Thanapatpisal dari ATM dan serial Hormones) yang benar-benar merupakan seorang bankir, sementara Uncle Preecha, seorang mantan polisi sahabat ayah Sakkarin juga mulai mencurigai gerak-geriknya.

Hadir bersama Prueksa, Peach menyempatkan sesi wawancara khusus sebelum gelaran red carpet OIMF di sepanjang kawasan Kokusaidori di hari penutupan festivalnya, 21 April 2019 lalu. Berikut adalah kutipan wawancara yang berlangsung seru antara Peach dan Pruesak:

Sama seperti film Indonesia, Malaysia atau beberapa negara ASEAN lainnya, banyak yang beranggapan bahwa industri perfilman Thailand sekarang menghadapi stagnansi genre yang rata-rata berkutat di drama, komedi dan horor. Ada beberapa film superhero Thailand yang saya kenal memang, tapi tidak berhasil juga di tangga Box Office. Bagaimana tanggapan kalian terhadap hal ini? Prueksa sebagai sutradara dan Peach (Pachara Chiratrivat) sebagai aktor?

[Prueksa] Iya benar. Semoga dalam waktu-waktu mendatang kita bisa menghadapinya dan lebih banyak genre lain seperti scifi, action yang bisa dibuat.

[Peach] Saya rasa itu masalah kultur. Tak seperti Amerika atau Jepang, masyarakat kita tidak yakin kita bisa membuat sesuatu yang seperti mereka punya ke film. Kita bahkan tak punya budaya komik superhero seperti mereka. Itu mungkin salah satu penyebabnya.

[Prueksa] Masalah budget juga. Genre-genre seperti itu pastinya butuh budget lebih banyak ketimbang tiga yang disebutkan tadi (tertawa).

Dua film layar lebar Anda adalah slapstick comedy dengan sentuhan romance. Apa yang membuat Anda selalu memilih genre ini; apakah memang genre favorit Anda atau ada alasan lainnya?

[Prueksa] Saya memulai karir dari sitcom. Dari sana mereka meminta saya membuat komedi dan saya merasa masih belum maksimal. Bikeman saya rasa adalah kesempatan untuk membuat film komedi yang jauh lebih baik. Untuk saat ini mungkin seperti itu.

Kali ini Anda sendiri yang menulis skripnya?

Iya, benar. 

Oke. Banyak orang menganggap film komedi gampang-gampang saja tapi menurut saya justru genre ini punya banyak faktor kesulitan. Apa faktor-faktor terpenting dalam sebuah film komedi menurut Anda?

[Peach] It’s really hard, yeah.

[Prueksa] Sangat sulit membuat sebuah komedi terutama dalam menentukan style, gayanya. Komedi Stephen Chow dan komedi Mr. Bean punya style yang sangat berbeda. Begitu juga, ketika membuat Bikeman, saya harus menentukan elemen-elemen gaya ini dengan percampuran-percampuran yang ada dalam referensi saya agar menjadi sesuatu yang baru. Tapi menurut saya, faktor terpenting dalam sebuah komedi adalah karakter dan bangunan situasinya.

Bagaimana dengan budaya? Saya percaya ketika saya menyaksikan film komedi dari satu negara, dalam hal ini Thailand, rasanya selalu ada sematan kultur yang biasanya tampil kuat di balik semua lucu-lucuannya.

[Prueksa] Dorongan itu ada, tapi sebenarnya saya lebih ingin mengarahkannya ke persepsi universal saja.

[Peach] Saya kira itu seperti common sense. Lebih ke persepsi-persepsi umum saja agar yang tak biasanya memahami kultur kami juga bisa mengerti dan ikut tertawa dengan gelaran komedinya.

Saya melihat dalam Bikeman ada gambaran persepsi-persepsi masyarakat Thailand yang sebenarnya tak jauh berbeda dari negara kami, Indonesia. Bahwa pekerjaan bankir dianggap terhormat dan pengemudi transportasi umum (ojek) tidak seperti itu.

[Peach] Yeah, ini seperti common sense di masyarakat kita, dan saya kira masih cukup universal untuk rata-rata pemikiran Asia.

Apakah ada persiapan khusus untuk peran-peran komedi dibandingkan drama atau genre lain buat Anda?

[Peach] Masing-masing butuh perhatian lebih dan memang tiap genre memerlukan skill yang berbeda buat aktornya. Komedi jauh lebih sulit dalam konteks akting ketimbang drama, juga dalam karakterisasi, karena komedi berhubungan dengan skill set dan suasana hati. Kita mesti bisa tertawa sepanjang hari agar tak terlihat palsu. Ada sense of humor yang harus diperhatikan dan bagi saya ini adalah skill set yang harus dipelajari.

Menemukan hal-hal lucu dalam setiap line di skripnya, dan tak cukup hanya itu, komedi juga sama seperti drama, butuh karakterisasi yang harus saya eksplorasi lewat metode-metode yang saya miliki agar bisa memberikan kedalaman lebih pada nyawa karakternya. Apalagi, saya kebanyakan diberi porsi tak melucu di sini, tapi lebih ke dorongan-dorongan situasional dari karakter-karakter di sekelilingnya.

Genre apa sebenarnya yang paling Anda sukai secara personal?

[Peach] Saya menyukai perasaan yang intens, karena itu mungkin saya lebih menyukai drama. Saya bukanlah seorang fans terhadap genre komedi walaupun saya menyukai komedi Mr. Bean. Komedi saya rasakan lebih berat ketimbang genre lainnya, lagi-lagi, karena kita dituntut untuk selalu bisa membuat penonton tertawa. 

Siapa sutradara yang Anda harapkan bisa berkolaborasi dengan Anda suatu hari nanti?

Dalam cakupan lokal, Banjong (Banjong Pisanthanakun). Saya mengenalnya dengan baik namun kami memang belum punya kesempatan untuk bekerjasama. Kami terus membicarakannya dan tanpa terasa sudah 6 tahun berlalu, tapi kesempatan itu terus belum bisa bertemu. Kalau dalam cakupan global, kalau saya suatu hari bisa meraih kesempatannya, saya sangat ingin bekerjasama dengan Martin Scorsese. Taxi Driver adalah film favorit saya.

Adakah aktor yang Anda jadikan role model ketika berakting?

Hmm... (berpikir sejenak), mungkin tidak, tapi saya sangat suka Robert De Niro, juga Tom Hanks, dan aktor-aktor yang berakting dengan method acting. Saya rasa method acting ini yang selalu jadi patokan dan terus coba saya pelajari. 

Anda juga punya profesi sebagai penyanyi dalam band Anda. Masih aktifkah sekarang?

Saya punya band baru sekarang dan sedang dalam pre-produksi untuk rekaman, namun berbeda dengan sebelumnya, dengan band yang baru ini saya mengeksplorasi pembuatan musik film seperti untuk film-film dokumenter dan film-film independen. Saya selalu ingin menjadi music producer dan yeah, music scoring adalah satu hal yang tengah saya tekuni sekarang ini.

Bagaimana dengan aktivitas filantrofi yang Anda lakukan?

Ya ya ya, jelas masih. Saya suka sekali bisa terlibat dalam gerakan-gerakan dan edukasi sosial untuk mempromosikan HAM, dan tentu untuk anak-anak di rumah sakit seperti sebelumnya. 

Saya mendengar berita, atau gosip?, bahwa Bikeman akan dibuat menjadi sekuel. Bisa ceritakan sedikit bila tidak sepenuhnya dirahasiakan? Atau bila ada proyek lainnya?

[Peach] (Tertawa dan melihat ke Prueksa yang memberi persetujuan) Dengar dari mana? Oke. Kami akan mengerjakan sekuel Bikeman, dan sekarang masih dalam tahap pengembangan skrip. Untuk saya sendiri akan ada film baru yang sayangnya belum boleh dibicarakan dan masih terkait NDA (Non-Disclosure Agreement) dengan pembuatnya. Untuk saat ini yang pastinya sekuel Bikeman saja (tertawa).

Saya mendengar Bikeman sangat berhasil dalam perolehan Box Office di Thailand dan filmnya sudah dirilis akhir tahun kemarin. Tapi terus terang agak sulit mendapatkan informasinya dari internet, sangat sedikit review lokal yang bisa ditemukan dan belum ada tanda-tanda juga sampai bulan ini filmnya akan hadir di Indonesia atau distribusi ke negara lain kecuali ditayangkan di Festival Film Thailand, Malaysia, tahun lalu. Mungkin Anda punya informasinya?

[Peach] Ya, Bikeman sangat sukses bahkan melebihi yang saya perkirakan sebelumnya.

[Prueksa] Mungkin masalah distribusi saja, itu di luar kekuasaan kami, tapi sepertinya Indonesia sudah masuk daftar rilisnya kalau saya tidak salah.

Oh great, then. Oke, mari bermain sejenak karena wawancara ini terkait Bikeman dan ini kerjasama pertama kalian berdua, kan? Saya minta kalian memberikan pendapat bagaimana rasanya bekerjasama dengan masing-masing dalam film ini (tertawa).

[Peach] Bagaimana ya? (tertawa). Oke, saya suka cara Prueksa mengarahkan saya. Ia peduli dengan hal-hal detil. Biasanya dalam proses mengerjakan film komedi kebanyakan sutradara hanya berfokus untuk menciptakan scene-scene lucu, tapi Prueksa selalu mengusahakan ada kekuatan karakter dan sentuhan drama, kedalaman ke tengah scene-nya, bukan sekadar melucu.

Seperti karakter saya contohnya, saya justru dilarang melucu bahkan tertawa olehnya hampir di semua adegan, dan sulit menahan tawa saat adegan atau karakter di sekitar saya semua melucu. Tapi itu yang saya rasa menciptakan banyak keajaiban dalam prosesnya. Saya suka caranya.

[Prueksa] Begini. Sulit memilih aktor untuk film komedi. Saya memilih dia karena...

[Peach] I’m not the funny one (tertawa)

[Prueksa] No, no, no... (tertawa). Saya suka akting Peach karena kembali lagi, bagi saya komedi harus punya kekuatan karakter dalam bangunan situasi yang ada di skripnya.

[Peach] Ya... dia membuat saya menjadi aktor komedi paling dramatik (tertawa)

[Prueksa] (tertawa)

Oke saya percaya dari jawabannya bahwa kalian memang merasa nyaman dan menyukai satu sama lain, jadi saya benar-benar percaya akan ada sekuel dari Bikeman (tertawa)

[Peach dan Prueksa] (tertawa) 

Banyak yang bilang dalam formula komedi Thailand, tak jauh berbeda juga dengan Indonesia, filmmaker-nya cukup mencari male lead ganteng dan female lead cantik, lalu temukan beberapa komedian berwajah lucu untuk jadi bahan bulan-bulanan, jadilah sebuah film komedi atau romcom tanpa lagi perlu skrip. Bagaimana tanggapan kalian atas pendapat-pendapat ini?

[Peach] Saya tak setuju itu (tertawa). Memilih aktor dan aktris cantik sebagai lead adalah daya tarik yang seringkali diperlukan sebuah film sebagai produk jualan, tapi itu hanyalah tekstur tambahan untuk filmnya. Tetap, intinya ada pada skrip yang punya jiwa dan nyawa. Seringkali kita mengagumi cast yang cantik-cantik tadi tanpa menyadari bahwa kekaguman itu datang karena didorong dari skrip dan akting yang sangat bagus. That’s actually the film’s heart and souls.

[Prueksa] Kedengaran seperti formula, tapi tentu tidak begitu, paling tidak untuk filmmaker-filmmaker yang serius mengerjakan film mereka, apapun genrenya. 

Saya juga menemukan sentuhan dramatis yang baik di pengujung Bikeman, dan melihat rata-rata pola yang sama dari kebanyakan komedi Thailand. Secara personal saya menyukai bagaimana sineas kalian membungkus film dengan sentuhan ending yang bagus untuk membuat penonton lupa dengan kekurangan-kekurangan yang ada sepanjang filmnya. Bisa kasih pendapat tentang hal ini?

[Prueksa] Masa sih?

[Peach] Ini pertanyaannya sulit sekali (tersenyum dan berpikir sejenak). Saya rasa ini berhubungan ke formula dari film-film kami untuk membuat ending yang lebih punya feel. Perasaan ketika audiens ke luar dari sinema dan jalan menuju mobil mereka, itu adalah hal yang sangat penting. Seperti rollercoaster, pembuatnya akan merancang ‘rasa’ dengan resiko apapun untuk membuat penonton mengingat momennya. Tapi benar memang, Prueksa benar-benar memikirkan ending Bikeman dengan sentuhan dramatis itu.

[Prueksa] Saya rasa dalam sebuah komedi atau romcom penonton memang menyukai happy ending dan seringkali filmmaker memang berusaha keras membuat happy ending yang lebih manis. 

Oke, selain hal-hal tadi apa yang kalian rasa menjadi kekuatan sinema Thailand sekarang ini untuk mendorong daya tariknya ke sinema negara lain dan cukup digemari, seperti Indonesia misalnya?

[Peach] Lagi-lagi pertanyaan yang sulit (tertawa)

[Prueksa] Whoooo... (berpikir)

[Peach] I’d go with that happy ending thing (tertawa)

Is it a feel-good things?

[Peach] Ya, itu.

[Prueksa] Ya saya rasa itu yang tepat. Audiens ingin merasakan suasana relaks saat mereka menonton film di bioskop...

[Peach] Tapi ini juga mengkhawatirkan, karena bila penonton selalu ingin hanya merasakan hiburan dalam sebuah tontonan, film-film kita akan terjebak di stagnansi genre yang Anda sebutkan tadi. Akan lebih banyak filmmaker yang hanya melulu memikirkan hiburan tanpa peduli perlunya kedalaman skrip, karakter, akting dan lain-lain. It’s actually sad.

So, sebagai aktor, apakah Anda juga ingin mengeksplorasi akting Anda di film-film arthouse? Thailand juga punya Apichatpong sebagai salah satu signature cinema-nya...

[Peach] Of course. Saya selalu menyukai film-film serius tapi tidak tahu kenapa mereka tidak memilih saya (tertawa). That’s a really weird question...

No, saya tak akan mengikutsertakannya pada transkripsi saya nanti...

[Prueksa] tertawa keras

[Peach] No, no, no... Itu memang satu hal yang sangat aneh dan ingin saya dapatkan jawabannya. Mengapa mereka tidak memilih saya padahal saya membuat music scoring buat mereka... jangan-jangan masalah honor...

[Prueksa] tertawa 

FYI, film-film arthouse/independen kami, Indonesia, justru sering menempatkan aktor-aktor mainstream terkenal ke film mereka dan tentu aktor-aktor itu bersedia demi eksplorasi peran yang berbeda, sementara ini jelas bermanfaat bagi filmmaker untuk menambah daya tarik ke film mereka.

[Peach] Yeah, seharusnya begitu. Saya membaca beberapa skripnya dan sebenarnya saya mau melakukan apa saja asal bisa ikut bermain di film-film independen atau arthouse.

Kembali sedikit ke music scoring yang Anda lakukan tadi, apakah scoring yang biasa Anda lakukan dengan full band score atau yang lain?

[Peach] Tergantung keperluannya. Biasanya lebih ke iringan dengan nuansa orkestra, tapi juga tak menutup kemungkinan untuk pendekatan lainnya.

Oke, thanks for the interview. Semoga kalian berdua bisa datang ke Jakarta untuk mempromosikan Bikeman nantinya. Banyak sekali artis dan filmmaker Thailand yang datang ke Jakarta, biasanya dari film-film produksi GDH, untuk mempromosikan film-film mereka.

[Peach] Of course, saya juga mendengarnya. Sudah lama saya ingin ke Indonesia untuk mempromosikan film-film saya hanya saja belum mendapat kesempatan. Thank you, it’s a pleasure.

[Prueksa] Thank you!


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.