Feature


Senin, 30 April 2018 - 20:37:43 WIB
Wawancara Eksklusif Dengan Sutradara ‘Born Bone Born’, Toshiyuki Teruya, Di OIMF Ke-10
Diposting oleh : Daniel Irawan (danieldokter) - Dibaca: 2853 kali

Merupakan versi panjang dari film pendek Born, Bone, Boon (2016), Born Bone Born karya komedian Yoshimoto, Toshiyuki Teruya, mengangkat ritual kuno Senkotsu (pencucian tulang) di kepulauan Okinawa. Film ini menjadi salah satu highlight di Okinawa International Movie Festival ke-10 atas kiprahnya terpilih sebagai salah satu film official selection di Moscow International Film Festival tahun ini.

Sutradara kelahiran Naha, Okinawa yang memilih beralih menjadi komedian populer bernama panggung Gori dari duo Garage Sale setelah drop out dari sekolah film di Nihon University justru akhirnya kembali ke cita-cita awalnya lewat film pendek pertamanya Keiji Boggy (2006).

Datang ke OIMF untuk mempresentasikan filmnya sambil terus mengisi setiap event pendamping sebagai MC sebagai duo Garage Sale, ia menyempatkan sebuah sesi eksklusif bersama sejumlah jurnalis undangan untuk berbicara cukup panjang soal visinya mengangkat ritual tanah kelahirannya dalam Born Bone Born. Di balik profesinya yang seorang komedian, ia kerap melemparkan canda yang sangat menyenangkan di tengah-tengah sesi interview.

Judul Born Bone Born untuk Jepang adalah Senkotsu, dan ini jadi tema besar yang sangat tak biasa dalam filmnya. Bisa jelaskan sedikit tentang ritualnya?

Jepang adalah negara kecil jadi ukuran kuburan kami pun kecil-kecil (tertawa). Pulau Aguni Okinawa masih punya lahan-lahan kuburan yang menurut saya sangat menarik dan banyak sekali cerita soal ini. Pencucian tulang ini sendiri biasanya dilakukan dalam peringatan 4 tahun kematian seorang anggota keluarga. Ritual menggali kembali kuburan untuk mencuci tulang sampai benar-benar bersih dari sisa daging dan kotoran lain itu bertujuan untuk menyucikan arwah sebelum benar-benar diberangkatkan. Banyak orang Jepang sendiri yang tidak mengetahui bahwa ritualnya ada dan masih dilakukan, tapi beberapa suku di Kepulauan Ryukyu masih melakukannya. Sewaktu saya melakukan riset terhadap ritual ini saya menemukan bahwa ritual ini bertujuan untuk berterimakasih kepada leluhur dan saya merasakannya sebagai sesuatu yang sangat indah dan berkesan.

Dalam Born Bone Born, Anda melakukan pendekatan komedi terhadap subjek yang sebenarnya sangat dramatis. Bisa jelaskan latar belakang terhadap pilihan ini?

Bagi banyak orang, Senkotsu memang terdengar cukup gelap dan menakutkan. Tapi saya tak bisa memungkiri bahwa saya adalah seorang komedian. Itu pekerjaan saya sehari-hari, dan saya melihat ini sebagai suatu kesempatan bagus karena komedi yang baik adalah komedi di mana kita bisa tertawa dan menangis pada saat yang bersamaan. Ibu saya meninggal 3 tahun yang lalu karena serangan jantung dan saya merasa sangat dekat dengan temanya. Sementara ayah saya adalah seorang ‘pemain’ yang sepeninggal ibu justru sangat merasa kehilangan. Di luar soal ritual, saya merasa seperti mengangkat kisah keluarga saya sendiri sewaktu menulis skripnya.

Apakah ritual ini masih jadi kebiasaan banyak orang di Okinawa atau hanya bagian kecil pulaunya?

Saya melakukan wawancara terhadap banyak lansia di sekitar Pulau Aguni sebelum membuat Born Bone Born. Ada sebuah video langka soal Senkotsu juga yang saya tonton. Saya dengar ada beberapa pulau lain yang masih melakukan ritual ini, namun yang lebih sering menjadi pilihan masyarakat Jepang sekarang adalah kremasi ketimbang penguburan. Hanya saja, tetap ada sebagian orang yang menolak untuk dibakar dan memilih dikubur karena dibakar itu terdengar lebih menakutkan (tertawa). Ketika ayah saya mendengar saya akan membuat film ini, dia mengingatkan saya bahwa ia juga lebih baik memilih dikubur ketimbang dikremasi. Kalau ibu saya yang meminta saya akan mengabulkannya, tapi kalau ayah saya, saya akan diam-diam mengkremasinya (tertawa).

 

© 2018 oimf.jp

Bagaimana Anda mempersiapkan aktor Anda untuk Born Bone Born termasuk melakukan ritual itu sewaktu syuting? Memberi mereka motivasi yang tepat untuk bisa melakukannya?

Secara umum, salah satu yang paling penting dalam prosesnya adalah penyesuaian soal dialek. Saya merekam dialek khas Aguni dan menyuruh aktor-aktor saya berulang kali mendengarkannya. Intonasi dan dialek menurut saya sangat penting karena latar yang diangkat. Begitu juga soal ritual, mereka semua mempelajari detil-detilnya. Karena aktor-aktor saya profesional saya rasa tidak ada masalah dengan hal itu. Dan saya selalu mencoba melempar candaan-candaan kecil untuk membuat aktor-aktor saya merasa rileks dan tak terlalu serius di set.

Apakah ada ritual khusus yang Anda lakukan untuk memfilmkan ritual Senkotsu ini atas ketakutan-ketakutan menyinggung kepercayaan tradisionalnya?

Ya ini menyangkut soal kepercayaan dan menurut saya sangat penting. Saya melakukan syuting di bagian barat pulau di tempat matahari terbenam. Saya mengunjungi lokasi kuburan di set aslinya bersama seorang ‘orang pintar’ lokal untuk berdoa sebelum syuting dilakukan agar dewa-dewa di sana tidak merasa marah terhadap apa yang kami lakukan.

BTW, Ritual pencucian tulang ini juga ada di beberapa suku di negara saya, Indonesia. Ada kesimpulan yang sangat menarik bagi saya soal tujuan akhir melakukan ritual ini sebenarnya lebih mengarah kepada diri kita sendiri sebagai generasi dari para leluhur. Apakah konklusi ini secara personal datang dari Anda sendiri?

Ah, itu sangat menarik. Begini, Sewaktu ibu saya meninggal itulah yang saya rasakan. Bahwa ada lingkaran dalam garis keturunan yang memberi saya kehidupan sekarang. Leluhur saya bertahan hidup untuk keturunannya dan begitu juga setiap garis keturunan yang ada. Jadi menurut saya memang ketika kita mencuci tulang leluhur kita dengan tujuan menyucikannya dari dosa dan segala hal, berarti kita juga mencuci diri kita sendiri untuk tujuan-tujuan yang baik. Jadi ya, ini konklusi yang sangat personal bagi saya.

Karakter yang ada di Born Bone Born awalnya merasakan ritual ini sebagai beban. Bisakah Anda menjelaskan latar yang membuat Anda mendeskripsikan hal itu justru sebagai salah satu konfliknya?

Ada impresi bahwa bila kita ditinggal seseorang yang kita cintai ada rasa kehilangan terutama saat menguburkan. Ritual Senkotsu ini membuat kita merasakannya kembali. Ini seperti suatu kesedihan yang harus kita hadapi kembali, dua kali. Pertama melihat orang yang kita sayangi pergi dan kemudian melihatnya sudah menjadi tengkorak saat membongkar kembali kuburannya. Harus dibersihkan pula. Kebanyakan keluarga yang ada dari riset-riset saya, terutama anak laki-laki, biasanya melarikan diri dari ritual ini karena tak ingin berlarut-larut di rasa kehilangan yang sama. Namun sebenarnya jauh di balik itu, yang saya lihat sebenarnya adalah cara melepaskan kehilangan yang sangat menyentuh ketika anak atau anggota keluarga lain harus memegang tulang mereka kembali untuk mencucinya. Itu rasanya seperti kita kembali berkomunikasi dengan orang-orang yang kita cintai. Jadi memang ada transformasi karakter yang dibutuhkan dan aktor-aktor saya juga merasakan hal yang sama

Tema-tema keluarga dari dulu menjadi sesuatu yang khas sejak era Ozu di sinema Jepang. Soal kembali ke kampung halaman, bertemu kembali dengan keluarga karena kebanyakan anak dari daerah biasanya merantau ke kota besar. Namun sekarang mungkin gambarannya semakin bergeser. Apa pendapat Anda mengenai hal ini?

Adalah hal yang biasa sebenarnya di Jepang  di mana 3 generasi keluarga tinggal serumah. Namun sekarang kebiasaan itu mulai bergeser. Bahkan sebuah keluarga semakin jarang berinteraksi karena keluarga Jepang mulai menjadi lebih modern (tak lagi tinggal bersama orangtua atau mertua). Saya merasa ada pesan yang selalu ingin disampaikan bahwa tradisi itu sebenarnya tak ada salahnya, agar kita bisa selalu dekat dengan orangtua kita, begitu juga saudara-saudara kita yang lainnya.

Born Bone Born banyak bicara soal keluarga disfungsional dalam hubungan internal karakter-karakternya. Adakah film yang menjadi inspirasi Anda dalam mengangkat tema-tema seperti ini?

Little Miss Sunshine mungkin adalah salah satu inspirasi saya ketika menggarap skrip Born Bone Born. Bisa ingatkan saya siapa sutradaranya? (tertawa). Juga The Descendants-nya Alexander Payne yang dibintangi George Clooney (ia menyebutnya The Family Tree berdasarkan judul terjemahan Jepang-nya). Apa yang dilakukan di dua film itu adalah pembuatnya tidak pernah memaksakan sentimentalitas berlebihan atau melodrama ke atas tema-tema yang sebenarnya sangat dramatis kepada penonton, tapi justru membuat kita bisa tertawa walaupun tetap ada rasa pilu yang melekat di dalamnya. Saya mencoba mencuri konsep yang sama dan senada dalam Born Bone Born.

Apa yang Anda rasa spesial dari Pulau Aguni sehingga memilihnya sebagai set?

Begini. Born Bone Boon, film pendek asli dari Born Bone Born sebenarnya datang ketika ada yang menawarkan saya membuat film tentang Aguni. Ide yang terlintas saat itu adalah sebuah komedi tentang sebuah affair antara seorang pemuda dari Aguni dengan seorang perempuan kota saat ia datang ke Okinawa. Namun ketika saya mendengar ritual Senkotsu, saya langsung mengubah konsep ceritanya menjadi kisah keluarga. Pulau Aguni sendiri merupakan lokasi yang sangat sepi, tenang, terpencil dan terkadang merepotkan karena hanya ada satu toko yang juga tutup tak terlalu larut, jadi kami benar-benar harus memikirkan apa yang harus dibeli untuk keperluan syuting selama di sana.

Jadi apakah ada tantangan lainnya dalam melakukan syuting di Aguni?

Cukup banyak. Aguni memang adalah sebuah pulau terpencil di kepulauan Okinawa, membuat kami sulit sekali membawa semua peralatan ke sana. Yang kami lakukan untuk efisiensi produksi adalah dengan mengambil shot-shot besarnya saja, namun kami memfilmkan kebanyakan adegan interiornya di sebuah lokasi yang cukup mewakili atmosfer Aguni dan membangun set di sana.

Film ini masuk ke dalam official selection di Moscow International Film Festival yang akan berlangsung tepat setelah OIMF. Apa dampaknya terhadap rencana perilisannnya nanti?

Saya mengharap ada rasa yang sama ketika menyaksikan Born Bone Born di manapun Anda berada. Kita boleh punya budaya berbeda di tiap negara tapi semua kita sebenarnya sama, lahir dari orangtua kita. Ini saya rasa adalah konsep yang sangat universal walaupun ritual yang kami angkat adalah ritual lokal. Saya justru mengharap masukan seperti yang Anda sebutkan ada di beberapa suku di Indonesia tadi, apakah ada kedekatan budaya yang sama mereka rasakan ketika menyaksikan Born Bone Born.

Born Bone Born Anda dedikasikan untuk seorang perempuan bernama Annie. Siapa dia?

Ya, dia mendiang ibu saya.

Ada adegan yang sangat menarik tentang melahirkan di tengah konflik yang meruncing di klimaksnya, yang hadir dengan sangat detil hingga memuat detil soal episiotomi (pembedahan daerah otot antara vagina dan anus pada saat ibu hamil melahirkan normal pertama kali dengan tujuan memperbesar lubang vagina agar proses melahirkan berjalan lebih mudah). Ini jarang-jarang sekali ada di film komedi yang sebenarnya cukup lazim punya adegan baby delivery di tengah konflik akhirnya. Apakah ada konsultan medis yang Anda gunakan untuk memfilkan adegan melahirkan tersebut?

Saya melihat istri saya melahirkan dan semua detilnya adalah peristiwa yang sangat besar bagi saya. Saya seperti merekonstruksi peristiwa nyata saat istri saya melahirkan karena saya juga disuruh istri saya memfilmkannya waktu itu walaupun ia tak pernah melihatnya kembali (tertawa). Ya, saya banyak bertanya dengan dokternya ketika istri saya melahirkan karena lagi-lagi saya merasakannya sebagai pengalaman yang sangat menakjubkan. Saya rasa karena itu saya ingin membuat adegan itu benar-benar detil sekaligus untuk menambah stakes terhadap konflik akhirnya.


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.