Bagaimana Pixar selalu melakukannya? Merilis sebuah film animasi setiap tahunnya yang selalu berhasil mendapatkan klaim universal dari para penggemarnya dan berbagai tanggapan positif dari seluruh kritikus film dunia. Dan hal ini tidak hanya sekali maupun dua kali dilakukan oleh anak perusahaan Walt Disney Pictures ini. Mereka telah melakukannya sebanyak sepuluh kali pada sepuluh film layar lebar yang telah mereka rilis semenjak tahun 1995. Tanpa noda. Tanpa cela. Bagaimana mereka melakukannya?
Untuk mengawali dekade baru, Pixar memulai petualangan mereka dengan memberikan semacam kisah penutup dari film yang telah memulai kisah kesuksesan studio tersebut 15 tahun silam, Toy Story. Dengan dana pembuatan sebesar US$30 juta, film inilah yang mengawali kekaguman dunia pada dunia animasi komputer yang tentu saja dipelopori oleh Pixar. Seperti yang diketahui semua orang, film tersebut meledak ke pasaran, memicu lahirnya banyak film-film animasi komputer lainnya serta sebuah sekuel, Toy Story 2 — yang dibuat dengan dana US$90 juta serta juga meraup kesuksesan besar — dan dirilis pada tahun 1999.
Sempat mengalami ketegangan hubungan dengan induk perusahaannya, namun berhasil menyelesaikannya, Pixar kemudian mengumumkan pada tahun 2007 bahwa mereka akan melanjutkan petualangan Woody dan teman-temannya dalam seri Toy Story dalam sebuah sekuel kedua yang akan dirilis dengan judul Toy Story 3. Dan kini, tepat 11 tahun setelah sekuel pertamanya dirilis, sekumpulan mainan yang telah menjadi favorit penduduk dunia ini kembali untuk menghadapi tantangan terbesar dalam persahabatan mereka: menemukan fakta bahwa pemilik mereka, Andy, telah tumbuh dewasa dan siap untuk meninggalkan koleksi mainannya.
Seperti yang sering ditekankan Woody (Tom Hanks) pada Buzz Lightyear (Tim Allen) dan kumpulan teman-teman mainannya, adalah suatu hal yang alami dan wajar bila suatu saat Andy (John Morris) tumbuh dewasa dan meninggalkan mereka. Namun, tentu saja tak satupun diantara mereka yang akan menyangka bahwa mereka akan benar-benar menghadapi masa ketika Andy berusia 17 tahun dan siap untuk meninggalkan rumahnya untuk melanjutkan pendidikannya ke bangku perkuliahan.
Beberapa hari menjelang kepergiannya, Andy akhirnya memutuskan hanya akan membawa Woody untuk menemaninya di asrama universitas. Sementara itu, koleksi mainanyang lain akan ia simpan di loteng atas rumahnya. Sialnya, sang ibu (Laurie Metcalf) malah menyangka bahwa kumpulan mainan tersebut adalah kumpulan mainan yang akan dibuang oleh Andy. Terpisah dari teman-temannya, Woody akhirnya harus berjuang untuk menemukan teman-teman terbaiknya dan mengembalikan mereka pada Andy, sebelum ia berangkat ke asrama universitas.
Walau kursi penyutradaraan Toy Story 3 tidak lagi ditempati oleh John Lasseter, yang kali ini hanya bertindak sebagai produser eksekutif dan menyerahkan jabatan sutradara pada asisten sutradaranya ketika mengarahkan Toy Story 2, Lee Unkrich, para penggemar serial Toy Story sepertinya tidak perlu khawatir kalau film ini akan kehilangan banyak sentuhan terbaiknya. Sama sekali tidak ada yang berubah di Toy Story 3. Woody, Buzz, Jessie dan seluruh mainan yang ada di film ini masih merupakan boneka yang sama seperti yang pernah penonton lihat pada dua serial sebelumnya. Yang berubah disini adalah Andy, sang karakter manusia, yang beranjak dewasa… dan Anda, sebagai penonton film ini.
Penulis naskah, Michael Arndt, yang merupakan seorang pemenang Academy Award di kategori Best Original Screenplay atas naskah yang ia tulis untuk film Little Miss Sunshine, sepertinya tahu banyak akan ikatan emosional yang telah terjalin antara film ini dengan penontonnya selama ini. Karenanya, ia menempatkan penonton pada posisi sebagai Andy, yang tumbuh dewasa dan harus meninggalkan seluruh kenangan dan kesenangan masa kecilnya, termasuk koleksi mainannya yang telah menemaninya selama ini, untuk kemudian melanjutkan kehidupannya. Dan hal ini berhasil! Jika pada film pertama dan kedua karakter Andy sepertinya tidak terlalu dilibatkan dalam jalan cerita, maka kali ini justru karakter Andy-lah yang menjadi kunci emosi utama dalam film ini, karena Arndt dengan cerdas berhasil menempatkan penonton sebagai karakter Andy di dalam jalan cerita.
Bagi mereka yang mengaku belum pernah mengikuti Toy Story sebelumnya, sutradara Lee Unkrich berhasil menyelipkan sebuah rangkuman kecil mengenai hubungan akrab Andy dan mainannya selama ini dalam bentuk adegan rekaman video Andy yang sedang bermain dengan seluruh mainannya. Berjalan singkat, namun cukup berhasil memberikan uraian singkat mengapa para karakter mainan ini begitu berarti bagi Andy.
Selain jalan cerita dengan alur emosional yang kuat, seperti film-film Disney dan Pixar sebelumnya, Toy Story 3 juga memberikan kisah petualangan yang cukup seru untuk karakter-karakternya. Ditambah dengan visualisasi ala Pixar, yang sepertinya telah menjadi jaminan bahwa tata visual sebuah film akan memberikan tampilan yang sangat memuaskan, serta tata suara yang sangat sesuai, kisah petualangan tersebut menjadi lebih nyata dan menjadi bagian hiburan tersendiri dari keseluruhan tampilan Toy Story 3 yang coba ditambilkan oleh Unkrich.
Seperti halnya Up, yang mendapatkan dorongan emosionalnya dari iringan musik yang disusun oleh komposer Michael Giacchino, Toy Story 3 juga memiliki Randy Newman, komposer yang telah menyusun iringan musik bagi serial ini semenjak awal. Pada Toy Story 3, Newman lagi-lagi mampu melakukannya dengan sangat baik. Iringan musiknya membuat setiap adegan menjadi memiliki nilai lebih: mendebarkan ketika adegan action, romantis ketika adegan bernuansa poercintaan serta (sangat) menyedihkan dalam adegan yang sangat menyentuh. Newman memberikan tambahan kehidupan bagi jalan cerita Toy Story.
Semua hal ini dirangkum dengan sangat baik oleh sutradara Lee Unkrich. Lewat tangan Unkrich, harus diakui bahwa jalan cerita Toy Story 3 berjalan lebih cepat dari dua seri berikutnya, namun tetap mempertahankan keeratan komposisi plot yang membuat tidak ada satupun bagian dalam jalan cerita film ini yang akan membosankan bagi penontonnya. Unkrich juga mampu membuat perkenalan penonton dengan para karakter baru — yang berjumlah cukup banyak itu — berjalan dengan lancar, dan membuat karakter-karakter baru tersebut seperti telah lama menjadi bagian dari keluarga besar mainan Toy Story.
Jadi, apakah penonton telah menemukan bagaimana Pixar mampu mempertahankan kesuksesan mereka? Mungkin sudah. Di atas seluruh penampilan visual yang dramatis dan tidak perlu diragukan tersebut, Pixar selalu lebih mengutamakan hati dan ikatan emosional yang akan terjalin antara sebuah film dengan para penontonnya. Hal ini yang seringkali dilupkan oleh para pembuat film Hollywood. Tak terkecuali untuk Toy Story 3, yang merupakan sebuah perpaduan yang apik antara drama, komedi, action dan romansa, Pixar kembali membuat sebuah standar baru mengenai bagaimana film seharusnya dibuat. Standar yang entah bagaimana, berhasil melewati standar tinggi yang telah mereka buat pada film sebelumnya.
Penuh dengan filosofi hidup yang dalam, layaknya Wall-E dan Up, Toy Story 3 memiliki tingkat bersenang-senang yang lebih banyak daripada kedua film tersebut, dan mengingatkan akan film-film Pixar di era awalnya. Yang jelas, Pixar akan membuat Anda sedikit kesusahan untuk membayangkan bahwa Anda tidak akan lagi menyimak petualangan Woody dan teman-temannya di masa yang akan datang, sama seperti Anda tidak akan dapat membayangkan berpisah dari sahabat-sahabat baik Anda. Toy Story 3 adalah sebuah bagian penutup yang sangat, sangat sempurna untuk sebuah trilogi cerita yang telah membuka pintu kesuksesan bagi Pixar.