Feature


Senin, 06 November 2017 - 20:19:28 WIB
Obrolan Dengan Programmer & Festival Director Tokyo International Film Festival Ke-30
Diposting oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 2620 kali

oleh

Daniel Irawan (@DanielDokter)

Terhitung Maret lalu, pertemuan tahunan UniJapan menunjuk Takeo Hisamatsu untuk menggantikan posisi festival director Tokyo International Film Festival (TIFF/TIFFJP), Yasushi Shiina yang mengakhiri masa jabatannya setelah periode 4 tahun terakhir dan berpindah mengurus pasar film pendampingnya, TIFFCOM.

Berkarir selama 40 tahun sebagai veteran industri sinema Jepang di ranah produser, juga menjadi bagian dari satu dari 4 rumah produksi film terbesar Jepang, Shochiku – sebagai executive managing director, berikut Warner Bros Jepang sebagai deputy general manager, Takeo Hisamatsu dikenal lewat film-film seperti Shinobi (2005), Beyond Outrage (2012) dan dua film Hirokazu Kore-eda; Still Walking (2008) dan Air Doll (2009), di antaranya. Ia juga ikut memproduseri proyek omnibus kolaborasi pertama TIFF dan The Japan Foundation Asia Center tahun lalu, Asian Three-Fold Mirror: Reflections.

Takeo Hisamatsu

Dalam konferensi pers yang mengawali launching TIFF ke-30 September lalu, Takeo Hisamatsu sudah menjelaskan visinya mengemban tugas baru ini hingga 4 tahun ke depan. Bahwa momen perayaan ulang tahun TIFF ke-30 tetap dijadikannya refleksi buat melihat balik pencapaian-pencapaian yang baik dalam segmen-segmen yang dihadirkan selama ini, namun ia juga merancang visi baru terhadap pelaksanaan TIFF selanjutnya secara bertahap. Ia menekankan bahwa TIFF tetap akan meneruskan visi untuk mendukung dan memperkenalkan talenta-talenta filmmaker Jepang dan Asia ke skup internasional serta membawa film-film internasional yang terpilih dalam setiap segmennya ke audiens Jepang, di atas sebuah keseimbangan antara film sebagai produk seni dan hiburan buat meraih audiens lebih luas lagi.

Selalu menarik pula dalam sebuah penyelenggaraan festival internasional sekelas TIFF untuk menelusuri visi, misi serta pola proses seleksi dan programming-nya setiap tahun. Tetap dinakhodai dua programmer yang sudah bekerja dari tahun-tahun sebelumnya, Yoshi Yatabe untuk segmen kompetisi utama serta Kenji Ishizaka untuk segmen lainnya termasuk Crosscut Asia, keduanya juga sudah membuktikan kredibilitasnya sebagai programmer di kancah festival internasional. Tahun ini, Yoshi juga akan bertugas sebagai salah seorang juri di Asian Pacific Screen Award (ASPA), Brisbane, Australia, sementara Kenji akan mengepalai dewan juri Southeast Asian Short Film Competition di Singapore International Film Festival akhir bulan ini.

Yoshi Yatabe

Dalam bincang-bincang antara ketiga motor penggerak utama TIFF dengan sejumlah media internasional tahun ini, Yoshi Yatabe mengatakan bahwa seperti juga festival-festival internasional lainnya, pola-pola seleksi kompetisi TIFF memang secara relatif bergerak dari satu isu sosial ke isu sosial lain yang relevan di masanya masing-masing dalam kecenderungan tema film-film submisi.

Ia mengatakan bahwa tahun lalu, isu-isu tentang LGBT banyak menjadi fokus seperti Moonlight di Oscar atau film Filipina karya Jun Robies Lana, Die Beautiful, yang memenangkan Audience Award dalam World Premiere-nya di TIFF, atau juga isu-isu tentang imigran dan masalah dekadensi dunia modern di festival-festival lainnya. Tahun ini, sejak pre-seleksi TIFF, Yoshi menemukan bahwa pola tema film-film submisinya banyak bergeser ke tema-tema perjuangan atau inner-war secara lebih individual. Namun di atas semua, pola yang dirasakannya memang ada pada menguatnya sorotan terhadap isu kesamaan gender dari film-film yang ada. Film-film seleksi kompetisi TIFF tahun ini, menurutnya, cukup banyak diisi oleh female-driven film dengan karakter wanita yang kuat sebagai lead-nya.

Ada Aqérat (We The Dead) dari Malaysia yang menyorot isu pengungsi Rohingya dan human trafficking lewat seorang wanita yang berjuang di tengah-tengahnya (diperankan Daphne Low yang meraih salah satu anugerah baru TIFF, Tokyo Gemstone Award), Maryline dari Perancis yang membawa aktris utamanya Adeline D’Hermy memenangkan Best Actress dan Tokyo Gemstone Award dari sebuah kisah perjuangan seorang aktris muda, juga The Lowlife yang banyak dibicarakan, film Jepang karya sutradara Takahisa Zeze yang merupakan adaptasi memoir seorang aktris film 'dewasa' Jepang, Mana Sakura.

Yoshi juga menyinggung soal film yang berakhir memenangkan Tokyo Grand Prix – Grain, film berbahasa Inggris karya sutradara Turki Semih Kaplanoğlu yang pernah memenangkan Golden Bear di Berlinale ke-60, 2010, lewat Bal/Honey, yang menurutnya membawa terobosan di tema kompetisi soal scifi dystopia/post apocalyptic ke dalam kompetisi tahun ini.

Lagi-lagi, dalam kriteria-kriteria seleksi kompetisi di TIFF, ia mengatakan ada banyak variabel yang memang mesti diperhitungkan. Secara jujur Yoshi mengakui bahwa dalam keberadaan TIFF sebagai festival internasional yang harus punya eksklusivitas seleksi di line up film-filmnya, treatment spesial seperti World Premiere, International Premiere atau Asian Premiere merupakan faktor utama dalam seleksi. Faktor berikutnya adalah diversifikasi seleksi yang juga dikatakannya dengan terus terang harus memperhitungkan minat audiens. Jika semua pilihannya adalah film-film arthouse atau human drama, misalnya, Yoshi mengatakan jika ia berdiri di sisi audiens, mungkin banyak yang akan merasa bosan. Ia mengusahakan ada variasi genre, tema atau kelas di dalam memilih 15 judul final yang akan berkompetisi, misalnya thriller, komedi, atau batasan-batasan tipis antara arthouse dan komersil/mainstream, festival-friendly atau audience-friendly secara seimbang. Satu yang tak kalah penting juga status sutradara yang harus dibagi secara variatif dari sutradara baru atau muda ke status auteur yang sudah berkali-kali memenangkan penghargaan internasional.

Untuk beberapa negara dengan aturannya sendiri, Yoshi juga menyinggung masalah keharusan melewati censorship negaranya sebelum ikut berkompetisi di ajang internasional seperti dari China, misalnya. Ada banyak karya-karya bagus dari China tahun ini melebihi tahun lalu, dan menurutnya, semua festival internasional harus menghormati aturan ini, juga bukan berarti film yang melewati proses sensor selalu harus kehilangan esensinya. Terakhir, Yoshi mengatakan bahwa sebagai festival internasional yang berbasis di Asia, ada misi yang diusung TIFF secara khusus untuk memberikan ruang lebih bagi film-film Asia, yang seringkali tak mendapat kesempatan luas dalam festival-festival internasional di Eropa.

Kenji Ishizaka

Kenji Ishizaka, programmer director untuk segmen kompetisi pendamping Asian Future sekaligus Crosscut Asia, ikut membagi visinya dalam proses seleksi TIFF tahun ini. Menurut Kenji, perkembangan film yang bergeser ke era digital semakin menumbuhkan pergerakan dari film-film independen dan low-budget sebagai bentuk resistensi dan counter-reaction terhadap film-film mainstream atau blockbuster. Menariknya, bukan hanya semakin tumbuh serta bervariasi, film-film kecil ini juga tak lupa berinovasi dalam teknis pembuatan atau faktor filmis lain termasuk tema-tema yang lebih berani menyentuh hal-hal sensitif hingga pola penceritaan serta pace yang tak mesti takut melawan arus, dan ini memerlukan dukungan lebih dalam membangun sebuah konsep keragaman.

Kenji merasakan segmen-segmen kompetisi seperti Asian Future merupakan platform untuk merefleksikan trend pergerakan ini di atas visi jelas yang memang hendak memperluas pengenalan talenta-talenta baru. Dalam hal ini batasan TIFF di segmen Asian Future adalah Timur Tengah ke Asia Timur termasuk Jepang serta status up-and-coming dari sineas yang belum melebihi tiga film panjang.

Dalam kontinuitas segmen spesial Crosscut Asia yang merupakan proyek kolaborasi TIFF dengan Japan Foundation dalam menyorot sinema Asia Tenggara, dari Thailand – Filipina – Indonesia dan di tahun keempat ini merayakan ulang tahun ke-30 TIFF sekaligus 50 tahun ASEAN dengan konsep kompilasi, Kenji memilih cara unik dalam seleksinya. Ia meminta sejumlah nama-nama yang secara personal dianggapnya representatif dari negara masing-masing untuk merekomendasikan film-film yang akan mengisi segmen spesial ini. Dari Indonesia ada Riri Riza yang merekomendasikan film Ziarah karya BW Purba Negara dan Garin Nugroho yang merekomendasikan film Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran karya Ismail Basbeth.

Dalam prosesnya, Kenji merasa letak keunikan konsep ini lebih kepada pilihan-pilihan rekomendasi itu sendiri. Menurutnya, sineas-sineas terpilih ini secara tak terduga bisa merekomendasikan karya-karya yang fresh serta tak jarang – mengejutkannya dari banyak perspektif soal film dan pemahaman filmis. Kenji juga merasa perlu mengikutsertakan beberapa karya retrospektif seperti film komedi musikal Filipina produksi tahun 1980, Will Your Heart Beat Faster? Kenji merasa ada perlunya menayangkan lagi film-film bagus yang dulu pernah dipilihnya kala bertugas sebagai programmer dalam program The Japan Foundation kepada generasi audiens saat ini; apalagi film itu punya koneksi tema terhadap kultur Jepang, meskipun disampaikan secara karikatural, dan kini tersedia dalam versi restorasi yang lebih memenuhi standar.

Kenji juga menyinggung soal rencana pembuatan omnibus Asian Three-Fold Mirror tahap kedua yang ikut diinisiasinya dalam visi kolaboratif TIFF bersama The Japan Foundation. Pemilihan tiga sutradara yang akan mengisi omnibus ini diuraikan Kenji tetap digagas berdasar pola pikir yang sama seperti Reflections yang tahun lalu diisi oleh Brillante Ma Mendoza (Filipina), Sotho Kulikar (Kamboja) dan Isao Yukisada (Jepang); yakni bukan saja merupakan sutradara-sutradara muda yang layak untuk diangkat, tapi juga masing-masing sudah pernah membawa karya mereka di TIFF. Degena Yun (China) sebelumnya sudah memenangkan The Spirit of Asia Award, penghargaan khusus Asian Future dari The Japan Foundation Asia Center lewat film Simple Goodbye di TIFF edisi ke-28, 2015. Begitu juga, baik Edwin (Indonesia) dan Daishi Matsunaga (Jepang) masing-masing sudah pernah menayangkan karya mereka di TIFF.

Mengawali bincang-bincang pertamanya sebagai festival director TIFF yang baru, Takeo Hisamatsu mengatakan bahwa bertolak dari karirnya sebagai produser di sejumlah film-film dengan genre dan tema yang sangat variatif termasuk animasi dan kolaborasinya bersama sejumlah nama-nama besar di sinema Jepang seperti Hirokazu Kore-eda, TIFF juga sangat memerlukan suatu keseimbangan dan harmoni dalam keberadaan film baik sebagai karya seni (arts) maupun hiburan (entertainment). Menurut Takeo, beberapa bulan terakhir, hal tersebut menjadi fokus utamanya buat merefleksikan keseimbangan itu di dalam segmen-segmen TIFF tahun ini.

Takeo juga mengatakan bahwa TIFF harus dipertahankan dalam sisi keunikannya, sama seperti pandangan dunia terhadap kultur Tokyo yang unik sebagai salah satu bagian terbesar dari Jepang. Kompetisi ketat serta persaingan dari festival-festival film berskala internasional di Asia, dari Korea hingga China menurutnya harus selalu menjadi pemicu untuk berusaha membuat semua aspek dalam penyelenggaraan TIFF hingga seleksi film-filmnya menjadi lebih baik lagi.

Menjawab adanya perubahan pola film pembuka dan penutup tahun ini (berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang menempatkan film Jepang sebagai film penutup, TIFF ke-30 dibuka dengan film Jepang Fullmetal Alchemist karya Fumihiko Sori), Takeo mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada rencana untuk itu pada awalnya. Penentuan film pembuka dan penutup, yang baginya tetap merupakan unsur paling penting dari keseluruhan kemasan festival, sangat tidak mudah karena ada banyak hal yang harus dipertimbangan serta disesuaikan menyangkut jadwal, tamu khusus yang akan datang ke festival selain juri internasional, hingga kecocokan waktu dengan rencana marketing pihak distributor yang harus dinegosiasikan. Yang jelas, TIFF tetap akan membagi porsi film pembuka dan penutup dengan satu film Jepang dan satu film internasional. Selebihnya kecocokan jadwal dengan distributor-lah yang menentukan.

Namun begitu, di antara dinamika seputar banyaknya faktor pertimbangan tadi, Takeo menganggap bahwa kehadiran Fullmetal Alchemist sebagai film pembuka TIFF edisi ke-30 yang dianggap spesial tetap memiliki nilai sangat positif. Bukan saja menjadi World Premiere yang statusnya paling bergengsi untuk pilihan film pembuka, Fullmetal Alchemist menurutnya merupakan representasi yang tepat untuk memperkenalkan kemajuan teknik CGI yang cukup pesat dalam sinema Jepang ke mata dunia, apalagi di tengah keterbatasan bujet rata-rata produksi film Jepang dibandingkan blockbuster Hollywood. Ia juga merasa puas dengan hasil seleksi film-film kompetisi yang menurutnya punya diversifikasi genre secara meluas berikut juga kualitas masing-masing film yang sangat bisa dipertanggungjawabkan.

Begitu pula, dalam menayangkan wajah sinema Jepang lewat segmen-segmen dari Japan Now untuk menunjukkan trend sinema yang ada dengan fokus ke sineas-sineas senior hingga Japanese Cinema Splash untuk mengangkat filmmaker generasi muda Jepang, dirasakannya bagai sebuah proses daur ulang yang terus berjalan. Bahwa dulunya, nama-nama terkenal itu juga memulai karir mereka masing-masing dari sebuah pengenalan awal.

Tentang kolaborasi TIFF dengan The Japan Foundation Asia Center yang sudah berlangsung selama 4 tahun dengan keberadaan segmen Crosscut Asia bahkan pembuatan film omnibus Asian Three-Fold Mirror, diharapkan Takeo bisa semakin meningkat dalam tahun-tahun berikutnya, bersama dukungan yang makin besar lagi dari banyak pihak termasuk pemerintah Jepang, dalam hal ini kementrian ekonomi, perdagangan dan industri juga budaya (cultural affairs), di antaranya. Adanya program-program kerjasama pertukaran budaya semacam ini bagi Takeo merupakan cara ampuh untuk membawa visi TIFF dalam hubungan persaudaraan Jepang terhadap negara-negara Asia lainnya.

Lebih lanjut, pilihan untuk menampilkan fokus animasi, satu hal yang menurut Takeo sangat perlu diperkuat lagi dalam penyelenggaraan TIFF ke depan, mengingat anime adalah salah satu ranah terkuat yang selama ini memberi identitas sinema Jepang serta terus melahirkan sineas-sineas baru yang punya bakat besar di bidangnya, tahun ini punya Keiichi Hara sebagai fokus spesial di perayaan seabad usia anime. Takeo merasa Keiichi Hara adalah salah satu aset terbesar anime yang dimiliki oleh Jepang lewat keunikannya mengangkat tema-tema tak biasa, juga kekuatan penceritaan dalam karya-karyanya. Dukungan TIFF terhadap ranah anime juga akan diusahakan dapat diperluas dalam ekspansi lebih bahkan mungkin memiliki segmen kompetisi sendiri.

Begitupun, Takeo merasa tahun ini mungkin masih terlalu dini baginya untuk menentukan arah langkah penyelenggaraan TIFF ke depan. TIFF ke-30 merupakan tahun pertama baginya dan festival yang baru saja dimulai kala perbincangan ini berlangsung dirasakan Takeo sebagai tantangan berat yang harus terus ditempuhnya demi kemajuan TIFF di tahun-tahun berikutnya. Ia merasa harus menunggu durasi festival tahun ini selesai untuk bisa dievaluasi bersama.

Menutup bincang-bincang ini, Takeo menekankan sekali lagi soal keseimbangan dan keberagaman program-program yang ada, serta visi yang jelas dari TIFF untuk tetap menjadi sarana buat mengangkat serta memperkenalkan talenta-talenta baru perfilman Jepang dan Asia dalam proses pertukaran budaya terhadap dunia internasional.


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.