Feature


Rabu, 03 Mei 2017 - 22:12:11 WIB
Exclusive Interview Bersama Fruit Chan Di Okinawa International Movie Festival Ke-9
Diposting oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 4200 kali

“LEBIH GAMPANG MEMBUAT FILM ARTHOUSE KETIMBANG KOMERSIL” Fruit Chan, Sutradara New Wave Asal Hong Kong

oleh

Daniel Irawan

Tak banyak mungkin penggemar film HK yang benar-benar mengenal nama sutradara Fruit Chan, lengkapnya Fruit Chan Gor (陳果). Sutradara kelahiran Guangdong, China, tahun 1959 ini dikenal sebagai sutradara, penulis dan produser aliran new wave (Fruit Chan ada di aliran second wave dalam perkembangan sinema mereka). Berbeda dengan nama-nama sutradara mainstream sinema Hong Kong lainnya, penonton awam penikmat film-film HK mungkin tak begitu akrab dengan filmografinya; yang memang sebagian besarnya tak mudah diakses hingga sekarang karena kebanyakan dianggap melawan arus. Pendeknya, rata-rata film yang diproduksi dan disutradarainya tak mudah kita dapatkan di lapak-lapak resmi penjualan home video. 

Pertama kali melejit lewat karyanya di tahun 1997, ‘Made in Hong Kong’, selain tak banyak juga yang tahu bahwa film ini memuat nama Andy Lau sebagai produser eksekutifnya, film ini secara unik memang dibuat dengan cara menyambung reel-reel tak terpakai dari sejumlah film lain dengan biaya yang relatif sangat murah di masanya. Namun begitu, ‘Made in Hong Kong’ berjaya sebagai film terbaik di Hong Kong Film Awards 1998 dan 6 nominasi lainnya, bahkan menjadi entry mereka untuk Best Foreign Language di perhelatan Academy Awards ke-71. 

Dibintangi aktor Sam Lee yang saat itu bukan siapa-siapa, ‘Made in Hong Kong’ yang menjadi bagian awal dari ‘1997 Trilogy’ karyanya bersama ‘The Longest Summer’ dan ‘Little Cheung’ – masing-masing di tahun 1998 dan 1999, bahkan mendapat treatment restorasi 4K dalam FEFF (Far East Film Festival), Udine, 2017 di anniversary ke-20-nya. Karya yang dianggap melawan arus di masa pengembalian Hong Kong ke China di tahun 1997 ini memang bukanlah sebuah film mainstream HK yang banyak disaksikan pemirsa luar negaranya. 

Bagi penggemar film HK lainnya, karya Fruit Chan yang lebih terdengar akrab mungkin adalah segmen ‘Dumplings’ dalam omnibus horor ‘Three... Extremes’ (2004) yang kemudian dirilis juga dalam versi panjang di tahun yang sama, lantas ‘The Midnight After’ (2014). Atau bagi movie buffs yang lebih dalam mengenali kru, Chan adalah asisten sutradara di salah satu film Jackie Chan dan Sammo Hung – ‘Heart of the Dragon’. 

Di luar itu, Fruit Chan masih punya satu lagi trilogi tentang prostitusi; ‘The Prostitute Trilogy’ yang terdiri dari film ‘Durian Durian’ (2000), ‘Hollywood Hong Kong’ (2001) dan ‘Public Toilet’ (2002), penulis skrip dalam film kontroversial ‘Bugis Street’ (1995) dan produser ‘Colour Blossoms’, film HK-China bergenre erotik tahun 2004. Film terakhirnya adalah sebuah thriller yang dirilis tahun 2016; dibintangi aktris Angelababy dan aktor Ethan Ruan, ‘Kill Time’.

Hadir di Okinawa International Movie Festival (OIMF) edisi ke-9 tahun ini yang dihelat dari 20-24 April kemarin, Fruit Chan sama sekali tidak mempromosikan karyanya melainkan datang sebagai juri untuk segmen kompetisi Creator’s Factory di OIMF yang mempertandingkan Writing Development Project, semacam pitching project untuk talenta-talenta muda Okinawa yang terpilih buat mendapat dana pembuatan feature films di tahun berikutnya.

Walau mengaku masih mengalami jetlag dan gangguan pendengaran karena sedikit kelelahan dalam penerbangan dan proses penjurian, Fruit Chan tetap menyempatkan waktu untuk sesi interview di OIMF dengan beberapa media. Ia bahkan bersedia melakukan interview dalam bahasa Inggris namun sempat memanggil asistennya untuk menerjemahkan beberapa pertanyaan dan jawaban yang lebih detil. Berikut adalah kutipan wawancara eksklusif yang berbicara banyak hal dari restorasi ‘Made in Hong Kong’ hingga visinya tentang industri film HK sekarang ini.


 

Di era ’80-‘90an, mendengar kata HK Cinema – yang tergambar di benak kita adalah sejumlah Genre Films yang sangat populer dan masih diingat hingga sekarang. Action, martial arts bahkan genre films lain yang sangat punya cirinya sendiri dan menciptakan trend ke seluruh dunia. Di tahun 2017 agaknya HK Cinema sudah kehilangan ciri itu. Apa pendapat Anda tentang hal ini?

Benar. Film-film HK sekarang bukan lagi sebuah trade mark, jika Anda mengerti maksud ‘trade mark’ yang saya bicarakan. Polanya sudah bergerak dengan banyak pengaruh dari China dengan banyaknya produksi bersama antara HK dan China. Tapi ini memang tidak bisa dihindari karena film HK sekarang memang sangat bergantung dengan pendistribusian ke China untuk pencapaian Box Office, yang punya banyak sekali aturan-aturan. Ada batasan-batasan di mana kami tidak lagi bisa membuat film seperti dulu, karena kontennya akan terhalang oleh aturan badan sensor yang ada di China. Itu yang membuat polanya pada akhirnya berubah dan kehilangan ciri. Bisa dibilang, film produksi HK sekarang terpaksa mengarah ke China sehingga kerap kelihatan tak ada bedanya dengan film-film produksi China kebanyakan. Hanya sedikit mungkin yang bisa bertahan dengan gayanya. Katakanlah, jika Anda bukan Donnie Yen atau Stephen Chow, Anda harus sangat berkompromi dengan pasar China.

 

Seperti yang Anda katakan, pola-pola yang ada di sinema Hong Kong sekarang sudah bergeser, apakah ada perlawanan dari sebagian filmmaker dan generasi penontonnya untuk tetap menyukai konten lokal sinema HK yang dulunya justru menjadi standar nasional sinema di sana?

Mungkin ada. Kebanyakan penonton dan filmmaker dari generasi muda di HK sekarang menunjukkan bahwa mereka tidak menyukai film-film co-production dan berusaha mengembalikan ciri khas sinema HK, tapi tentu saja lagi-lagi Box Office yang bicara. Bahwa lebih banyak persentase penonton yang memang lebih bisa menerima karya-karya yang lebih global – dalam patokan juga bisa diterima oleh audiens China ketimbang hanya HK.

 

Anda dikenal sebagai sineas yang melejit karena melawan arus sinema mainstream. Dulunya Anda bisa menelurkan karya-karya yang mengedepankan idealisme itu, namun makin ke sini, beberapa film terakhir Anda semakin bergeser mengikuti arus mainstream. Apa pendapat Anda tentang hal ini?

Sebenarnya dari dulu sulit bagi sinema non-mainstream atau arthouse untuk bisa struggling dalam perolehan penonton. Hanya saja, mungkin kebosanan yang ada sempat membuat lahirnya sineas-sineas new wave yang lebih mengedepankan pendekatan yang berbeda dalam sinema HK. Tapi Anda juga harus tahu, saya tumbuh besar di sinema mainstream sebagai kru dan kemudian naik kelas menjadi asisten sutradara. Pasar yang ada memang selalu membingungkan di atas pola-pola pembuktian box office. Satu karya gagal akan menyulitkan Anda untuk mendapat jadwal rilis lebih luas. Saya sering mendengar “Ah, Fruit Chan hanya membuat film-film non komersil”, namun ada idealisme yang bicara. Dan sebenarnya lebih gampang membuat film arthouse ketimbang komersil karena sewaktu membuat arthouse Anda tak peduli terhadap aturan sementara kala membuat film komersil, Anda harus memastikan film komersil yang Anda buat benar-benar bisa sukses di box office dan menjamin Anda terus bisa membuat film berikutnya. Jadi memang saya selalu mencoba struggling dan berkompromi berdasar perubahan pola yang ada. Dan saya tidak keberatan untuk berkompromi ke ranah komersil karena secara pribadi, setelah saya berkarir sebagai filmmaker independen, saya kira siapapun akan ingin mendapat kesempatan bekerja di produksi dengan bujet lebih walaupun tuntutannya komersil. Saya sudah memutuskan berhenti membuat film-film independen dan arthouse sejak 2000-2001 karena marketnya memang sudah sangat jatuh. Saya memerlukan pasar untuk bisa bertahan. Film-film saya belakangan didanai studio besar seperti Wanda Media dan Emperor dan memang saya punya tanggung jawab terhadap hasil box office-nya bagi para investor. Ini merupakan tantangan yang lebih besar karena sebagai sineas independen Anda kebanyakan hanya bertanggung jawab pada diri Anda sendiri.

 

Setelah ‘Dumplings’ yang jauh lebih komersil, ‘The Midnight After’ banyak dipandang cukup berhasil memadukan idealisme, signature soal gambaran-gambaran lapis sosial di film Anda dengan pendekatan-pendekatan komersil. Apakah belakangan Anda selalu melakukan pola-pola ini ke karya Anda?

Mungkin. ‘The Midnight After’ dipandang banyak orang adalah film komersil seperti source web-novel-nya (‘Lost on a Red Mini Bus to Taipo’), tapi juga ada di batas-batas tertentu yang membuatnya sangat sulit untuk dijual. Sebagai sineas, tentu saja saya harus memastikan pengembalian bujet kepada investor. Ada perjudian dalam hal itu yang sulit untuk dipungkiri. Saya cukup senang dengan hasilnya karena saya bisa memasukkan elemen-elemen sosial, politis dan black humor yang lebih serius ke dalamnya sebagai horor komedi satire. Walau tak terlalu besar, ‘The Midnight After’ bukanlah film flop (perolehan box office-nya sejumlah 21M HKD dari bujet 15M HKD) dan bisa masuk juga ke festival-festival internasional seperti Tokyo International Film Festival dan world premiere di Panorama section Berlinale ke-64 tahun 2014. Beberapa review bahkan menyebutnya sebagai Fruit Chan’s return to form.

 

Kembali ke sebuah pertanyaan klise, apakah ada sesuatu yang mendorong Anda memutuskan menjadi seorang filmmaker?

Saya memutuskan masuk ke industri saat di masa SMU saya dibawa menonton ‘Cinema Paradiso’ di liburan musim panas. Setelah itu saya mencoba kerja di industri film tapi tak sekalipun bermimpi menjadi sutradara. Beruntung saya mulai secara bertahap diterima menjadi asisten skrip, produser hingga 2nd assistant director di sejumlah film. Terus terang saya takut melangkah menjadi sutradara karena saya melihat beberapa orang yang melakukan ini ada yang gagal dan kembali dari nol. Sulit sekali membuat film di zaman dahulu dibandingkan sekarang. Tapi setelah 10 tahun bekerja di industri, saya mulai memberanikan diri, kebetulan di saat itu merupakan puncak kejayaan sinema HK di mana semua kesempatan menjadi lebih mudah. Minat penonton kami terhadap sinema HK saat itu sangat tinggi. Begitupun, saya sempat gagal dengan dua karya pertama saya – yang notabene adalah film komersil, dan kembali menjadi asisten sutradara, sebelum akhirnya membuat ‘Made in Hong Kong’.

 

‘Made in Hong Kong’ akan diputar dalam perayaan ke-20 tahunnya dalam versi restorasi 4K di Udine dalam waktu dekat. Bisa ceritakan bagaimana prosesnya?

Tahun 1997 adalah masa-masa pengembalian HK ke China, sehingga begitu cepat, tak ada yang peduli dengan film. Seperti yang saya katakan tadi, dengan dua kegagalan di film pertama saya – satunya horor dan satunya kisah cinta remaja, saya sebenarnya tak lagi mau membuat film sebagai sutradara. Saya malah kembali menjadi asisten sutradara, namun seketika ada ide yang datang seperti menyuruh saya membuat film di tahun itu. Dengan dorongan yang ada, saya mulai mengumpulkan reel-reel yang ada dan menulis sedikit tambahan untuk kesinambungannya. Menghabiskan 9 bulan menyambung-nyambung elemennya, ‘Made in Hong Kong’ pun selesai, dan tanpa saya sadari, semua terjadi. Saya melawan arus ke tema-tema yang masih disukai saat itu seperti film-film gangster, tapi menarik menyaksikan reaksi penonton terutama penonton muda yang sebagian besar menyukainya. Ide restorasi ini datang di 2014 ketika kami baru saja menyaksikan ‘The Midnight After’, juga di FEFF Udine. Saya selalu ingin merestorasi ‘Made in Hong Kong’ tapi terbentur cost yang tinggi. Jadi ketika pihak FEFF menyatakan mau membantu, saya sangat senang, apalagi reputasi lab restorasi di Italia jelas lebih baik daripada Asia. Prosesnya memakan waktu tiga tahun karena banyak sekali yang harus dilakukan untuk merestorasi suara dan menggabungkan kembali semuanya; belum lagi sejumlah bagian yang hilang. Dulu kami memiliki reel terpisah untuk dialog, efek suara dan scoring. Sekarang semua bisa digabungkan jadi semua jadi lebih mudah. Di lain sisi saya juga tidak mau kalau versi restorasinya terlihat terlalu dipoles secara high-def. Sesuai wujud aslinya yang merupakan sambungan stok film tak terpakai, saya selalu menginginkan sebuah look yang lebih mentah. Untunglah semua berjalan seperti apa yang saya mau, apalagi penyimpanannya di perusahaan film milik Andy Lau punya kondisi air-con yang memadai sehingga gambarnya bisa dipertahankan, kecuali mungkin dalam soal warna yang menurut saya punya terlalu banyak kontras. Tapi saya percaya hasil kerja mereka. So yeah, apa yang saya rasakan di tahun itu sangat spesial – dan akan menarik juga versi restorasinya kini bisa menemukan penonton-penonton baru yang mungkin bisa suka atau malah tidak. Sekarang saya juga mendapat tawaran untuk merestorasi ‘Durian Durian’ dan ‘Little Cheung’, tapi bagi saya pribadi, ‘Made in Hong Kong’, tak peduli saya kedengaran membesarkan film saya sendiri – adalah sebuah karya klasik (tertawa).

 

Terakhir, apa pendapat Anda tentang Hollywood yang kini bergeser dengan kepentingan ke pasar China?

Oh saya tahu dan baru saja menonton ‘Fast & Furious 8’. Semua film Hollywood sekarang diarahkan pada kepentingan mereka menggamit pasar China, bahkan dengan menggunakan sebagian talenta-talentanya. Tentu ini perkembangan yang bagus, namun tidak atau belum demikian halnya ke sinema HK karena kami juga masih sangat bergantung ke pasar China dengan kompromi-kompromi yang ada. Seperti yang saya katakan tadi, agar bisa diterima di pasar sana, ada banyak faktor. Sejauh ini sinema HK masih sangat terbatas di tema yang itu-itu saja, kebanyakan action atau police story. Kami tak bisa berkreasi lebih di genre lain seperti horor, misalnya – karena terbentur aturan dan kepentingan co-production.


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.