Feature


Jumat, 04 Desember 2015 - 10:07:00 WIB
Penayangan 'Nay' di JAFF Jogja Ke-10 Berlangsung Seru
Diposting oleh : Taufiqur Rizal (@TarizSolis) - Dibaca: 1441 kali

Hari ke-3 pelaksanaan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada 3 Desember 2015 masih menghadirkan serangkaian film-film Asia berkualitas termasuk dari Indonesia. Bisa dipastikan film-film yang diputar JAFF tak akan ditemukan di lapak dvd bajakan, situs berbagi film di internet, warnet atau tv kabel. Panitia selalu menghadirkan film terbaru dan tersegar dari bumi Asia.

Kemarin, film panjang dari Indonesia yang diputar diantaranya Surga Yang Tak Dirindukan karya Kuntz Agus (XXI) dan Nay karya Djenar Maesa Ayu (TBY). Dua film ini istimewa karena film pertama sangat laris di pasaran beberapa bulan silam. Sedangkan film kedua mendapatkan banyak pujian dari kritikus film meskipun masih diedarkan secara terbatas. 

Satu hal menarik dari penayangan Nay di JAFF yang laris manis bak kacang goreng adalah sesi Q&A yang beda dari biasanya. Bukan berbentuk tanya jawab berkesan formal cenderung kaku di dalam ruang pemutaran, malah lebih ke santai penuh suasana keakraban dengan Djenar Maesa Ayu dan para penonton duduk berlesehan di halaman Taman Budaya Yogyakarta. Seru!

Sementara itu film pendek yang diputar di hari ke-3 cukup banyak. Kolase film Yosep Anggi Noen seperti To Home, Genre Sub Genre, dan Love Story Not. Dia adalah sutradara muda jebolan JAFF yang memenangi berbagai festival film internasional.

Film Cina, Jepang dan Korea juga diputar secara maraton di JAFF kemarin. Ada beberapa judul menarik yaitu Tharlo dan Dossier dari Cina. Tahun ini Tharlo memenangi Grand Prize dan Student Prize Tokyo Filmex Festival. Melalui Tharlo kita menyaksikan Cina yang berbeda, bukan industrial tapi sederhana dan agraris. Cina yang lain pun ditampilkan oleh film dokumenter Dossier.

Pejuang tibet, Tsering Shakya, menjadi tokoh utama dalam film ini. Sang sutradara menuturkan kehidupan Tsering yang selalu dianggap melawan pemerintah Cina. Film ini membuat kita bisa menilai konflik Cina dan Tibet dari sudut pandang berbeda. Tak kalah menarik adalah dua film dramatis, Perfect Proposal dari Korea Selatan, dan Happy Hour asal Jepang.

Program lain yang menarik di hari ke-3 adalah Forum Komunitas yang membahas distribusi alternatif ala Button Ijo dan KOLEKTIF program. Kesempatan emas ini dapat digunakan komunitas film lokal untuk mengedarkan filmnya ke seluruh Indonesia.

Sementara itu pembahasan mendalam soal Sinema Jogja ditemukan pada program Public Lecture di Bentara Budaya. Diskusi kali ini memaparkan perubahan komunitas film selama sepuluh tahun terakhir dengan Imam Karyadi menjelaskan dinamika festival film di Yogyakarta sementara Isabella Glatchant dari Perancis berbagi pengalamannya mengedarkan film-film lokal ke seluruh penjuru dunia.



Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.