Feature


Selasa, 10 November 2015 - 15:55:02 WIB
Top 10 Film Indonesia Menembus Prancis
Diposting oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 7359 kali

"Le Cinéma, c'est l'écriture moderne dont l'encre est la lumière" (J. Cocteau)

Sinema adalah karya tulis modern dengan tinta serupa cahaya. Demikian Cocteau berfilosofi. Sebagaimana karya tulis, dunia sinema adalah cermin kondisi sosial politik dan kemasyarakatan Negara terkait. Menengok ke 20 tahun lalu, sineas Indonesia terpenjara politik sensor yang menutup pintu bagi tema yang dianggap tabu; politik, agama dan seksualitas. Dalam film dokumenter berjudul “Cinéma Indonésien: entre censures et espoirs” (Sinema Indonesia: antara Sensor dan Harapan) karya sutradara Prancis Hubert Niogret,  para tokoh senior perfilman Indonesia seperti Christine Hakim, Garin Nugroho, Slamet Rahardjo dan Eros Djarot menyampaikan harapan mereka agar sinema Indonesia bisa secara jujur mengisahkan kondisi sosial serta seni budaya bangsa dan bukan sekadar wahana industri.

Seiring perkembangan demokrasi, lahir generasi baru sineas Indonesia yang menawarkan film-film bergenre dan tema beragam baik sosial, sejarah maupun politik dengan muatan pesan kuat dan bukan mengejar bisnis semata. Generasi baru juga semakin giat menjajaki tempatnya di industri sinema dunia, di antaranya melalui keikutsertaan dalam berbagai ajang kompetisi film internasional dan penayangan mandiri di bioskop di luar negeri, termasuk di Prancis.

Festival Film di Prancis: Kesempatan Unjuk Gigi Film Indonesia

Di Prancis, setiap tahun digelar banyak festival film internasional seperti Festival Film CannesFestival Film DeauvilleFestival Film Clermont-Ferrand, Festival des 3 continentsFestival international des cinémas d'Asie (FICA), yang dikenal juga dengan nama The Vesoul International Film Festival of Asian Cinema.

Festival Film Cannes adalah festival film terbesar di dunia yang tiap tahun menerima pendaftaran 2000 film, dihadiri kurang lebih 5000 jurnalis dan 30.000 profesional dari perfilman dunia, termasuk Indonesia. Dalam festival yang pertama kali digelar tahun 1946 ini, terdapat beberapa penghargaan, seperti Palme d’Or, penghargaan prestisius yang setara dengan Goldener Bär di Berlin International Film Festival . Selain itu ada penghargaan Prix Un Certain Regard yang diinisiasi Gilles Jacob sejak 1978 untuk mengapresiasi film-film indieuntuk bersaing dalam nominasi dan meraih pengakuan internasional.

Selama berlangsungnya Festival Film Cannes digelar pula Marché du Film di mana sekitar 10.000 pebisnis film dari lebih 100 negara bertemu. Dalam pasar film ini perwakilan tiap negara melakukan distribusi informasi tentang perkembangan film, kebijakan perfilman, promosi film dan negaranya sebagai lokasi produksi film internasional. Turut juga diselenggarakan program kompetisi film independen seperti La Semaine de la Critique atau Critic’s Week. Program tersebut diinisiasi sejak 1962 oleh Serikat Kritikus Film Prancis (French Union of the Film Critics) yang beranggotakan jurnalis dan kritikus film Prancis. Saat itu mereka melihat Festival Cannes terlalu mapan dan berorientasi pada nama besar sehingga sering mengabaikan karya-karya lain yang unggul dalam pencapaian artistik. Langkah yang sama ditempuh oleh Serikat Sutradara Prancis dengan menggelar Quinzaine des Réalisateur atau Directors Fortnight.

Selain Cannes, film Indonesia juga banyak menembus Vesoul International Film Festival of Asian Cinema yang mengutamakan segi seni dan artistik.Diselenggarakan di kota Vesoul, Prancis, festival ini merupakan festival film Asia paling penting di Eropa dan secara konsisten menampilkan seleksi film yang berkualitas. Berikut daftar 10 film Indonesia terbaik yang berhasil menembus Prancis:
 

Tjoet Nja' Dien (1988)

Kiprah Indonesia di Festival Film Cannes dimulai dari diputarnya film Tjoet Nyak Dien karya Eros Djarot pada tahun 1989 dalam program Semaine de la Critique untuk kategori film panjang. Di ajang tersebut film peraih 9 Piala Citra ini, meraih penghargaan sebagai Best International Film. Dibintangi oleh Christine Hakim sebagai Tjoet Nja’ Dien,Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar, film ini sukses menghidupkan sosok Cut Nyak Dien yang ahli strategi perang sekaligus istri dan ibu yang berbakti pada keluarga. Film yang digarap selama dua tahun ini menunjukkan kualitasnya terutama dalam setting lokasi dan waktu serta akting prima Christine Hakim yang berbicara dengan bahasa dan logat Aceh dengan sempurna.

Daun di Atas Bantal (1998)

Film karya Garin Nugroho yang di Prancis dikenal dengan judul Feuille sur un oreiller ini diputar dalam program Un Certain Regard di Festival Film Cannes 1998. Bercerita tentang kehidupan tiga anak jalanan di Yogyakarta; Kancil, Heru dan Sugeng yang diperankan oleh tokoh asli di kehidupan nyata dan menjalani hidup dalam kemiskinan bersama Asih (Christine Hakim). Film ini mengangkat tema keseharian dimana kesulitan hidup dan tragedi yang dialami karakternya ditampilkan apa adanya, namun tetap memiliki unsur artistik dan dramatisasi.

Pasir Berbisik (2001)

Film karya Nan T. Achnas ini ditayangkan dalam ajang Festival du Film Asiatique de Deauville tahun 2002. Festival sinema Asia ini digelar tiap tahun di kota Deauville, Prancis sejak tahun 1999. Dalam ajang tersebut, Dian Sastrowardoyomeraih penghargaan Best Actress. Film ‘nyeni’ (arthouse) yang menjadi ciri khas sang sutradara ini berkisah tentang kehidupan Daya (Dian Sastro) dan ibu, Berlian (Christine Hakim) yang diwarnai kemiskinan dan kesendirian. Daya yang merindukan hadirnya ayah dan teman bermain, mendengarkan suara pasir “berbisik” kepadanya. Alur lambat, minim dialog dan penuh simbolisasi tidak lantas menjadikan film ini membosankan berkat keindahan visual memanjakan mata sekaligus mendukung jalinan cerita.

Berbagi Suami (2006)

Film karya Nia Dinata ini meraih Prix d’Argent dan Prix du film favori du public (film favorit penonton) dalam ajang Festival du film d’Asie de Lyon di Prancis. Sekuel film Arisan! Ini mengangkat tema kontraversial di Indonesia: Poligami. Kegundahan Nia atas isu tersebut tertuang dengan cerdas lewat tiga cerita berbeda dalam satu film. Film yang diproduksi bersama Indonesia-Prancis ini mengangkat tema serius, sensitif, tabu namun dibungkus komedi satir. Film yang mengangkat tema poligami dari sudut pandang perempuan ini diproduksi bersama oleh Kalyana Shira Film dan WallWorks, sebuah rumah produksi asal Prancis dan dengan kolaborasi pekerja film Indonesia-Prancis.

Sang Penari (2011)

Film karya Ifa Isfansyah yang diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karyaAhmad Tohari ini dirilis di Prancis pada ajang Festival Film Cannes 2013. Pemenang 4 penghargaan Piala Citra 2011 ini diputar dalam program European Premiere Antipodes, Cannes Cinephile 2013 dan kompetisi Cannes Senior Category dalam rangkaian Festival Film Cannes 2013. Sang Penari menceritakan kisah cinta tragis seorang pemuda desa bernama Rasus (Oka Antara) dengan penari ronggeng bernama Srintil (Prisia Nasution) di Dukuh Paruk, desa kecil yang diliputi kemiskinan, kelaparan dan kebodohan bersettingIndonesia tahun 1960-an yang penuh gejolak politik. Di tanah air, Sang Penari meraih 4 penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia 2011 untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Aktris Terbaik Prisia Nasution dan Aktris Pendukung TerbaikDewi Irawan.

  

Atambua 39° Celcius (2012)

Film garapan Riri Riza dan Mira Lesmana ini memenangkan Inalco Jury Awarddalam ajang Vesoul Asian Film Festival 2013. Festival yang diadakan pertama kali di tahun 1995 ini,  setiap tahun menerima sekitar 30.000 film. Penghargaan Inalco ini diberikan oleh dewan juri yang beranggotakan Remi Dor, Francois-Xavier Durandy, Anthony Folkmann, Boris Elaiba, Elodie Guignard dan Satenik Mkhitaryan. Film Atambua 39° Celcius dipuji karena kekuatan tema cerita yaitu pencarian identitas dengan setting pasca konflik, sinematografi, penataan cahaya dan warna yang apik serta akting aktor-aktornya yang prima.

  

The Mirror Never Lies (2011)

Film karya Kamila Andini yang dibintangiGita Novalista, Reza Rahadian dan Atiqah Hasiholan ini diputar di program Cannes Cinephiles dFestival Film Cannes 2011. Disaksikan lebih dari 200 penonton internasional, film yang mendapat tujuh nominasi dalam Festival Film Indonesia ini juga diputar di Cinema Le Raimu di Cannes dan Festival des Antipodes di St Tropez. The Mirror Never Lies merekam dan memvisualisasikan kekayaan kehidupan laut Wakatobi dan keseharian suku Bajo melalui narasi sederhana dari seorang gadis kecil bernama Pakis (Gita Novalista) yang berusaha menemukan ayahnya yang hilang ketika melaut.

 

 

What They Don’t Talk When They Talk About Love (2013)

Karya kedua Mouly Surya yang mengangkat romansa remaja penyandang cacat ini diputar dalam Festival international du film de femmes de Créteil di Prancis tahun 2014. Mouly yang sudah dua kali berpartisipasi dalam Festival Film Cannes, melihat festival ini sebagai kiblat film terbesar di dunia di mana ia mendapat kesempatan besar untuk berjejaring dengan insan perfilman dunia. Mouly Surya juga dinobatkan sebagai sutradara perempuan pertama dalam sejarah Festival Film Indonesia yang meraih Piala Citra. Karya kedua Mouly Surya setelah Fiksi (2008) ini merupakan film Indonesia pertama yang masuk dalam nominasi World Cinema – Dramatic dalam ajang Sundance Film Festival 2013 di Amerika Serikat.

 

The Fox Exploits The Tiger’s Might (2015)

Setelah bersaing dengan 1750 karya pendek lainnya dan 1100 film feature dari seluruh dunia, The Fox Exploits The Tiger’s Mightkarya sutradara muda Lucky Kuswandiberhasil menjadi 1 dari 10 film pilihan yang dikompetisikan dalam program Semaine de la Critique Festival Film International Cannes tahun ini. Film ini merupakan film pendek Indonesia pertama yang berhasil masuk dalam kompetisi tersebut, setelah 10 tahun sebelumnya film pendek karya Edwinberjudul Kara, Anak Sebatang Pohonterpilih masuk kategori Director’s Fortnight di Festival Film Cannes 2005. Dan 26 tahun sebelumnya, film Tjoet Nya’ Dien terseleksi dalam ajang yang sama untuk kategori film panjang.

Bagi sang sutradara sendiri, karyanya tersebut memberikan keleluasaan dalam membicarakan tema kekuasaan dan seksualitas secara terbuka, jujur dan dewasa. Keleluasaan tanpa penyensoran diri maupun penyensoran dari berbagai lembaga dalam eksplorasi karya seni ini justru  membuahkan prestasi yang bisa dibanggakan oleh dunia internasional.

 

The Raid (2011)

Suguhan aksi laga intensif dengan plot sederhana ternyata mampu membawa The Raid maupun sekuelnya, The Raid 2 (2014), menjadi film Indonesia box officeteratas. Film yang mengangkat seni bela diri khas Indonesia, pencak silat, ke dunia internasional ini diputar di berbagai negara dan laris manis termasuk di bioskop-bioskop Prancis. Gareth Evans (sutradara) ternominasi sebagai Best Cinematographer dan meraih Best Editor dalam ajang Asian Film Awards 2015.

Beberapa film Indonesia berkualitas di atas seperti Sang Penari, Berbagi Suami, dan The Mirro Never Lies akan diputar bersamaan film-film Prancis terbaik dalam acara Festival Sinema Prancis di Indonesia, untuk kategori Fokus. Dalam menyambut ulang tahun Festival Sinema Prancis ke-20, kategori Fokus tahun ini didedikasikan bagi film-film Indonesia yang memiliki ‘benang merah’ dengan industri film Prancis. Festival Sinema Prancis 2015 akan diadakan pada tanggal 3-6 Desember 2015 di Jakarta dan kota lainnya seperti Balikpapan, Bandung, Denpasar, Makassar, Malang, Medan, Surabaya dan Yogyakarta. Untuk jadwal lebih lengkap, silakan klik http://www.festivalsinemaprancis.com/

Teks: Dwi Setyowati
Photo: Berbagai sumber

Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.