Feature


Selasa, 27 Oktober 2015 - 18:49:10 WIB
10 Film Horor Prancis yang Paling Mencekam
Diposting oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 24887 kali

Prancis menawarkan film-film horor yang tidak kalah seru dan menegangkan dari film horor Hollywood. Sutradara Prancis terkenal kreatif dan inovatif dalam menciptakan kengerian baru di genre horor. French New Wave atau New French Extremity ditandai dengan bergesernya film horor Prancis dari old-fashioned creepy ke sub genre slasher atau perpaduan horror/slasher/thriller, dimana daya tariknya terletak pada kondisi kejiwaan dan perilaku sadistik tokoh antagonis yang mendehumanisasi korbannya.

Bentuk kekerasan yang ditampilkan juga semakin kontroversial seperti kanibalisme dan pelanggaran moral. Selain itu, film horor Prancis juga memiliki keunggulan berupa efek visual yang artistik dan realistik serta sisipan pesan moral satir atau kritik. Seperti film-film horor Prancis berikut ini:


Frontier(s) (2008) 


Di tengah kekacauan pemilu presiden di Prancis, Alex (Aurélien Wiik), Tom (David Saracino), Farid (Chems Dahmani), Yasmine (Karina Testa) dan Sami (Adel Bencherif) berencana kabur ke Amsterdam dengan terlebih dahulu merampok bank. Kehadiran polisi membuat upaya perampokan itu berantakan dan mereka terpecah. Dalam upaya melarikan diri inilah mereka dihadapkan pada keluarga psikopat, kanibal, Neo Nazi, pemilik hotel tempat mereka bermalam. Mampukah mereka menyelamatkan diri dari cengkraman keluarga ‘sakit’ tersebut? 

Frontiers atau Les frontières dalam judul aslinya, berarti perbatasan. Dalam film ini, bukan saja mereka harus melewati batas wilayah tetapi juga menghadapi “batas” kesadisan yang ditunjukkan pelaku. Film yang berhasil membangun ketegangan dari awal hingga akhir cerita ini dipenuhi efek banjir darah dan smashing torture seperti dalam film horor klasik Texas Chainsaw Massacre. Akting prima para pemain dan efek visual serta make up yang realistik membuat film ini bukan sekadar gore fiesta. Sutradara Xavier Gans menampilkan Prancis yang gelap, kasar dan anarkis. Pas sekali dengan konteks sosial politik Prancis tahun 2004 di mana kerusuhan meletus di daerah pinggiran kota Paris dan meluas ke kota-kota lain. 

Dalam ajang Fright Meter Award 2008, Frontiers masuk dalam lima kategori nominasi; Best Supporting Actress, Best Horror Movie, Best Director, Best Screenplay dan Best Makeup. Fright Meter Awards adalah penghargaan tahunan yang diberikan oleh Fright Meter Awards Organization; sebuah lembaga nirlaba beranggotakan produser, sutradara, aktor, blogger, fans horor dan lain-lain dengan tujuan mengapresiasi dan memberi pengakuan bagi pencapaian terbaik film bergenre horor. Di tahun yang sama film Frontiers dianugrahi Grand Prize of European Fantasy Film in Silver dalam ajang Brussels International Festival of Fantasy Film.

 

Martyrs (2008)


Perpaduan horor, drama dan misteri diramu sutradara dan penulis naskah, Pascal Laugier dalam film ber-setting Prancis tahun 1970-an ini. Lucie (Mylene Jampanoi) dihantui trauma masa kecil yang menjadikannya seorang paranoid. Ia berperilaku aneh dan tak mampu berkomunikasi dengan siapapun kecuali dengan Anna (Morjana Alaoui) yang juga korban kekerasan di masa kecil. Apa yang menimpa Lucie di masa kecilnya, menjadi rahasia besar yang membuat kita penasaran. Film ini banyak menyajikan adegan kekerasan terhadap perempuan yang bisa mengguncang emosi kita. Dipenuhi torture porn sepanjang film, Martyrs menyajikan twist yang berlapis. Beberapa adegan diakhiri dengan kejutan yang menjadi benang merah untuk adegan berikutnya. Upaya membalas dendam kepada orang-orang yang dulu menculik dan  menyiksanya, mengantarkan Lucie dan Anna pada sebuah perjalanan yang mengerikan dan menyakitkan, tak hanya secara fisik tetapi juga emosional. Film yang memenangkan Fright Meter Awards 2009 untuk kategori Best Screenplay dan Best Makeup ini berhasil membangun emosi penonton dan membangkitkan rasa empati pada tokoh-tokohnya.

 

Inside (2007)


Walau dibuat dengan biaya ekonomis dan setting minimalis (hanya sebuah rumah dengan tiga kamar), Inside membawa kita merasakan ketegangan dan kengerian yang intensif selama 78 menit. Alur cerita sangat sederhana; La femme, seorang psikopat bermodal gunting yang diperankan Beatrice Dalle, menginginkan bayi yang masih berada dalam kandungan seorang janda bernama Sarah (Alysson Paradis). Walau penuh adegan brutal dan melampaui batas kemanusiaan, banjir darah dan potongan tubuh yang berceceran, Inside tidak hanya mengumbar kesadisan belaka karena naskah dan akting digarap dengan baik. Akting Beatrice Dalle yang maksimal diganjar Fright Meter Awards 2008 untuk kategori Best Supporting Actress dan film ini pun memenangkan Best Horror Movie.

 

Livid (2011)


Setelah Inside (2008), duet sutradara Alexandre Bustillo dan Julien Maury kembali bekerja sama untuk Livid (2011). Di awal film kita akan menangkap kesan bahwa Livid menandai kembalinya film horor klasik di mana atmosfer creepy dibangun perlahan dengan trik sederhana namun sukses membuat jantung copot, seperti misalnya saat kepala boneka tiba-tiba memutar sendiri. Mirip dengan Inside, film Livid mengambil setting di dalam rumah dengan makhluk astral yang mengancam nyawa para pengganggu rumah tersebut. Dikisahkan dalam film ini, Lucile Klavel (Chloe Coulloud), seorang pengasu ditempatkan di rumah Deborah Jessel (Marie-Claude Pietragalla), seorang wanita tua misterius yang koma. Setelah mengetahui adanya harta yang tersembunyi di dalam rumah tua itu, Lucile bersama dua temannya berupaya mendapatkannya. 

Sepertiga awal film ini bisa dikategorikan sebagai creeping fairytale horror di mana atmosfer mengerikan dibangun perlahan seperti dalam cerita dongeng. Namun di sepertiga kedua dan menjelang ending, film ini menunjukkan dirinya bukan sebagai film horor supranatural dengan makhlus halus seperti dalam Insidious, tetapi justru menampilkan rangkaian gore yang menjadi ciri khas karya Bustillo dan Maury. Terlepas dari ketidaktegasan ini, Livid menyajikan visual, sinematografi dan scoring yang indah dan membawa kita pada pengalaman sinematik yang menyenangkan.

 

High Tension (2003)


Alex (Cecile de France) dan sahabatnya Marie (Maïwenn) berniat mengisi akhir pekan mereka untuk mengerjakan tugas kuliah di rumah Alex di pedalaman Prancis. Namun mereka kedatangan tamu tak dikenal; seorang pembunuh sadis misterius yang tanpa alasan membantai seluruh keluarga. Dua gadis ini juga tertangkap dan berusaha melarikan diri. Alexandre Aja, sutradara sekaligus penulis skenario, menampilkan alur cerita yang sederhana dan sekilas mudah ditebak namun ia berhasil membangun ketegangan dan menyisipkan twist di ending yang tak diduga. Sebagaimana film horor lain, High Tension minim dialog. Namun, film ini menjadi berbeda berkat kekuatan karakter tokoh-tokohnya. Akting Cecile de France yang sempurna; raut ketakutan di wajahnya, ketegangan di sekujur tubuhnya, ritme nafas, kesakitan, berpadu dengan kemarahan sekaligus keputusasaan yang dilakoni Maïwenn.

 

Trouble Every Day (2001)


I love you so much I could eat you… Bisa ditebak, film ini dipenuhi adegan kanibalisme yang dibalut drama erotis. Dua keluarga dengan dua rahasia gelap yang perlahan diungkap melalui narasi yang dipenuhi metafora. Tema eksistensialisme dan gender sangat kuat dalam alur ceritanya. Sutradara Claire Denis menyajikan film yang mengundang kontroversi besar pada saat dirilis; sebagian memuji, sebagian lagi mencibir. Film yang dibintangi Vincent Gallo, Tricia Vessey dan Beatrice Dalle ini perpaduan thriller-horor-drama yang sangat dingin dan kelam. Film ini diputar sebagai pembuka Festival Film Cannes tahun 2001.

 

Possession (1981)


Sebuah film multikultural; diproduksi bersama Prancis-Jerman, digarap oleh sutradara Polandia, Andrzej Zulawski, dibintangi oleh aktor Selandia baru Sam Neil dan aktris Prancis Isabelle Adjani serta didukung oleh aktor pembantu dari Jerman. Berkat perannya sebagai Anna dan Helen, dua karakter yang bertolak belakang, Isabelle Adjani mendapatkan dua penghargaan sebagai Best Actress yaitu dalam ajang Festival Film Cannes 1981 dan Cesar Awards 1982. Possesion menyajikan alur cerita kompleks namun tetap menarik mengenai keluarga yang berantakan karena hubungan antar anggotanya yang penuh kekerasan, kerahasiaan dan hasrat yang dipendam. Setting Jerman Timur yang pada saat itu masih dipenuhi paranoia, pembungkaman dan penindasan, sangat pas menjadi latar film. Hal ini juga diperlihatkan dari bertaburannya makna-makna simbolis yang relevan dengan konteks sosial politik saat itu. Misalnya, apatisme masyarakat dan memudarnya keyakinan pada agama.

 

In My Skin (2002)


Esther (Marina de Van), menyimpan rahasia yang memilukan. Setelah pengalaman kecelakaan yang membuat kakinya luka, perlahan tapi pasti ia menjadi penikmat rasa sakit dan terus melukai tubuhnya sendiri, memutilasi dan bahkan memakan bagian tubuhnya yang terluka. Dengan gigih ia berusaha menyembunyikan rahasianya ini dari sang kekasih, Vincent, yang diperankan Laurent Lucas. Perpaduan drama dan horor ini menyajikan dengan sempurna sebuah tema psikologis berupa penyakit mental yang berwujud self-injury atau menyiksa diri sendiri. In My Skin tidak menampilkan pembunuh berdarah dingin atau makhluk supranatural tetapi kekerasan destruktif diri sendiri yang bisa membawa pelakunya pada kematian. Marina de Van yang juga menjadi sutradara sekaligus penulis naskah berhasil membawa film ini sebagai Best International Film dalam ajang Fantasia Film Festival 2003.

 

Dark Touch (2013)


Produser, sutradara dan penulis naskah, Marina de Van, mengangkat tema supranatural dalam film horornya kali ini. Dark Touch menceritakan seorang gadis kecil, Neve, yang selamat dari pembunuhan keji di mana orangtua dan adiknya menjadi korban. Neve mencurigai sekelompok orang dan rumah kosong dengan segala perabot yang berubah menjadi hidup itulah sumber penyebabnya. Namun polisi mengabaikan kecurigaan itu. Neve kemudian dibawa petugas sosial namun ia tidak menemukan kedamaian di tengah keluarga angkatnya. Bahaya demi bahaya yang traumatis terus menghampirinya. Sosok Neve dalam film ini cukup misterius. Kita tidak pernah tahu apakah dirinya korban kekerasan atau bukan. Ada aura mengerikan, rapuh sekaligus mengundang rasa simpati di wajahnya. Missy Keating, pemeran Neve, bermain prima dalam menggambarkan seorang anak yang dirundung masalah dan menyembunyikan banyak rahasia. Dark Touch bermain-main dengan emosi penonton dan meninggalkan ruang yang luas bagi interpretasi.

 

Eyes without a Face (1962)


Karya sutradara Georges Franju ini adalah film horor Prancis terbaik sepanjang masa. Untuk pertama kalinya, Dr. Genessier (Pierre Brasseur) menjelma sebagai sosok Frankenstein yang bergerilya mencari donor transplantasi wajah anak perempuannya. Film ini menginspirasi munculnya tokoh-tokoh jahat serupa dalam film-film horor dunia. Walaupun lulus dari badan sensor Eropa, film ini awalnya menuai kontroversi karena ide operasi wajah melalui bedah heterograft pada masa itu belum populer dan bahkan dianggap imajinasi belaka. Terlebih, dalam film ini digambarkan bagaimana eksperimen sang dokter bedah selalu gagal dan semua korbannya mati. 

Saksikan film Eyes without a Face dalam gelaran “Paranoit” pada 31 Oktober di Auditorium IFI Thamrin. Bersiaplah untuk menjerit.

 

Teks: Dwi Setyowati

Foto: Berbagai sumber


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.