Feature


Sabtu, 14 Februari 2015 - 13:53:37 WIB
Alex Komang, Sebuah Tanda Mata Perfilman Indonesia
Diposting oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 3124 kali

Pemuda berperawakan kurus itu bernama Gunadi. Ia bergegas menghela sepeda melawan derasnya hujan. Wajah tampannya tampak gelisah. Seolah-olah cemas, gerangan apa yang kelak menimpa dirinya. Ia sudah beristri, tapi ia juga mencintai Miss Ining, bintang stambul kenamaan. Ia ingin membantu gerakan perlawanan kepada Belanda, namun memiliki dendam kepada komisaris polisi yang telah membunuh adiknya Miss Ining. Kekalutan ini dibawanya melintasi hujan, melewati garis nasib yang tak pasti.

Sumber foto: indonesiancinematheque.blogspot.com

Demikian sedikit cuplikan Doea Tanda Mata (1984), salah satu film terbaik karya maestro perfilman Indonesia, Teguh Karya. Pemuda Gunadi diperankan oleh Alex Komang, seorang aktor pendatang baru asal Jepara, yang mencoba peruntungannya di dunia seni ibu kota.

Saat itu ia berusia sekitar 21 atau 22 tahun. Ia terlahir di tanggal 17 September 1961 dengan nama asli Saifin Nuha. Bisa jadi ia merasa kota sekecil Jepara tidak bisa mengakomodir estetika seni yang dimiliki dirinya, sehingga memutuskan untuk merantau ke Jakarta sekitar awal tahun 80-an.

Lantas ia bergabung bersama Teater Telur (sekarang Teater Tetas), sebelum menemukan jalan untuk bergabung bersama Teater Populer yang dipimpin oleh Karya. Saifin Nuha tampaknya memikat Teguh Karya, sehingga mengajaknya untuk membintangi sekaligus mitra penulis naskah Doea Tanda Mata.

Kolaborasi mereka begitu gemilang, sehingga film bisa tampil dengan sangat mengesankan. Berkat kekuatan aktingnya, tidak heran jika Saifin Nuha bertransformasi menjadi Alex Komang, seorang calon bintang film Indonesia kenamaan. Pada Festival Film Indonesia di tahun berikutnya, Komang diganjar sebuah Piala Citra untuk perannya sebagai Gunadi dalam Doea  Tanda Mata.

Seusai Doea Tanda Mata, Komang menjadi anak emas Karya. Ia membintangi sejumlah film Karya lainnya dan selalu member penampilan yang tak kalah mengesankan.

Dalam Secangkir Kopi Pahit (1985), Komang adalah Oleh Tegar, seorang perantau berdarah Batak yang berasal dari salah satu kampung di Sumatera Utara. Nasib membawa Oleh Tegar menjadi seorang wartawan yang harus menghadapi liarnya ibu kota dan membuatnya terjerat kasus hukum. Karena memang dasarnya aktor watak, meski berdarah Jawa, namun ternyata Komang juga sangat meyakinkan menjadi seorang Batak.

Selanjutnya Komang menjadi salah satu anak Tuti Indra Malaon dalam Ibunda (1986). Sebuah drama keluarga yang tidak hanya menguras emosi, tapi juga member rasa hangat dalam menyaksikannya. Komang berperan sebagai Fikar, anak laki-laki satu-satunya ibu Rakhim (Malaon), yang tega meninggalkan anak dan istrinya dan menjasi simpanan seorang tante girang, demi mengejar karir menjadi seorang artis. Sedikit banyak, mungkin ada resonansi hidup Komang dalam karakter Fikar.

Film terakhirnya bersama Karya adalah Pacar Ketinggalan Kereta (1989), sebuah drama yang juga dibintangi oleh banyak bintang kenamaan seperti Onky Alexander, Didi Petet, Ayu Azhari, Nurul Arifin, selain para bintang senior, Malaon, Rachmat Hidayat, dan Niniek L. Karim.

Seusai Pacar Ketinggalan Kereta, Komang pun vakum dari dunia film di sepanjang tahun 90-an yang juga menandakan periode mati suri perfilman Indonesia. Barulah memasuki tahun 2000-an, Komang mulai bergiat lagi.

Peran-peran yang ditawarkan kepadanya mungkin kecil, tapi bukan berarti Komang bermain dengan sekenanya. Ia tetap memberikan penampilan yang gemilang dan berkesan. Berturut-turut ia membintangi film karya sineas muda Indonesia. Tercatat Ca Bau Kan (2002), Long Road to Heaven (2007), atau Medley (2007),  menjadi sarana kembalinya Komang ke dunia akting layar lebar.

Meski dikenal sebagai aktor watak , tapi rupanya di dekade ini Komang tidak pilih-pilih peran. Bahkan ia bersedia bermain di film-film yang bisa dikategorikan ringan seperti Sumpah Pocong di Sekolah (2008), Chika (2008), atau Anak Setan (2009).

Berkat konsistensinya, Komang memang kerap tampil di banyak film, bahkan hingga memasuki dekade ke-2 tahun 2000-an. Dalam Laskar Pelangi (2008), Romeo Juliet (2009), Rasa (2009), Darah Garuda (2010), True Love (2011) dan 9 Summers 10 Autumns (2013), Komang menjabat sebagai aktor pendukung yang memberi bobot kepada film-film tersebut. Bahkan di film yang tersebut di akhir, Komang mendapatkan nominasi sebagai Aktor Pendukung Terbaik di Piala Citra 2013.

Sumber foto: jppn.com

Walau lebih sering menjadi bintang pendukung, bukan berarti Komang tidak mendapat kesempatan untuk tampil sebagai pemeran utama, yang dibuktikan dalam film Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji (2009), sebuah film daerah yahg sayangnya tidak dirilis luas, Surat Kecil Untuk Tuhan (2011 yang mencatatkan diri sebagai modrama  laris di pasaran, dan  drama keluarga Sebelum Pagi Terulang Kembali yang mengingatkan akan film-film Teguh Karya.

Nama besar Komang juga menarik sineas jiran, Malaysia, yang mengajak Komang untuk membintangi film Putri Gunung Ledang (2004) dan Gunung Emas Almayer (2014).

Meski sukses, Alex Komang tetap memilih untuk tampil sederhana dan rendah hati, sehingga tidak heran dihormati tidak hanya oleh koleganya sesama aktor, tapi juga kalangan luas.

Sayangnya, kini kita tidak akan bisa lagi menyaksikan akting menawan Komang. Penyakit kanker hati stadium 4 telah merenggut dirinya untuk selama-lamanya pada Jumat malam, 13 Februari yang lalu, di sebuah rumah sakit di kota Semarang.

Selamat tinggal Alex Komang. Dedikasimu pada seni akting akan selalu dikenang sepanjang masa. Meski dirimu enggan dianggap sebagai aktor legendaris, tapi jelas kau adalah sebuah tanda mata dari Tuhan untuk perfiman Indonesia, yang akan tetap dikenang, disimpan, dan memberi arti.

Kini ia sudah melintasi hujan, melewati garis nasib yang tak pasti, dan melebur bersama waktu. Abadi untuk selamanya. 


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.