Sebuah obrolan tentang bioskop alternatif dengan produser film dokumenter “Metamorfoblus”, Ursula Tumiwa.
“Metamorfoblus” adalah sebuah film dokumenter yang membahas kehidupan beberapa Slankers yang sangat dipengaruhi oleh Slank itu sendiri. Film ini disutradarai oleh Dosy Amar yang dahulu juga turut menyutradarai “Generasi Biru”. Melihat pengaruh Slank dalam kehidupan Slankers dan bagaimana Slankers menginterpretasikan lirik dari setiap lagu Slank dari sudut pandang mereka adalah sesuatu yang unik dan berbeda. Namun, itu bukanlah satu-satunya yang unik dari film dokumenter ini. Dengan band ikonik seperti Slank, film ini ternyata tidak dirilis ke jaringan bioskop komersil seperti film-film lainnya. Ursula Tumiwa, sebagai produser “Metamorfoblus dan “Generasi Biru”, pun menjelaskan mengenai apa penyebabnya dan bagaimana sistem distribusi “Metamorfoblus” yang akan menggantikan cara perilisan film yang umum tersebut.
Semua berawal dari keadaan yang mengkhawatirkan dari keadaan distribusi film di Indonesia. Di sini, hanya ada dua kelompok yang bisa mendistribusikan film-film ke berbagai wilayah Indonesia. Namun, bioskop tidaklah tersebar secara merata dan hanya berpusat di kota-kota besar. Jumlah bioskop yang ada sekarang juga jauh dari kata ‘cukup’ untuk bisa menjangkau masyarakat Indonesia yang luas. Kendala biaya pun juga harus dihadapi oleh pembuat film di Indonesia demi bisa mendistribusikan filmnya. “Biaya membuat copy film di Indonesia itu mahal sekali,” ujar Ursula. Keadaan yang memprihatinkan ini membuat konsep ‘meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya’ semakin menggila. “Film Indonesia itu bisa cuma berumur sekitar dua minggu di bioskop. Setelah itu, mereka turun,” tambah Ursula.
Pengalaman Ursula dalam bekerja sama dengan pihak distributor film saat menangani “Generasi Biru” dahulu pun membuahkan gagasan yang berani. “Saya memutuskan untuk mencari sponsor untuk membiayai pemutaran film ini sendiri. Kebetulan “Metemorfoblus” ini kan juga film dokumenter. Biasanya, film dokumenter yang dirilis di jaringan bioskop yang sudah ada itu suka sepi penonton. Jadi, pihak distributor juga punya alasan untuk ragu mendistribusikan film ini. Makanya, saya tidak bisa menyalahkan mereka juga dan memilih menggunakan cara bioskop alternatif,” katanya.
Dalam gerakan bioskop alternatif ini, “Metamorfoblus” akan bergerilya ke tempat-tempat yang relatif layak sehingga pembuat film dan penonton film dapat bertemu dalam sebuah peristiwa bernama pemutaran film. Tujuannya adalah memberikan jembatan yang jauh lebih lebar, antara para pembuat film dan para penonton film, sehingga bisa diapresiasi sebagai sebuah karya seni dan sebuah hiburan yang bisa menghasilkan nilai-nilai ekonomi. Layar tancap adalah salah satu cara yang akan dipakai dalam pola bioskop alternative ini. Pengertiannya adalah layar bisa ditancapkan di mana saja selama tempat itu bisa diterima oleh masyarakat sebagai tempat untuk menonton film.
Film “Metamorfoblus” sendiri memang bukanlah film pertama yang menggunakan konsep ini. Sudah ada beberapa film independen lain di Indonesia yang memulainya dengan memutar film di berbagai komunitas, kampus, dan kineklab. Selain itu, sebuah usaha menambah ruang pemutaran film di Indonesia bernama Bioskop Merdeka pun sudah muncul, walaupun masih berpusat di daerah Jakarta Selatan. Ursula juga menyatakan betapa Slank sendiri mendukung bioskop alternatif ini. ” Musik Slank sendiri juga memiliki semangat indie. Jadi, mereka juga sangat mendukung gerakan indie untuk mendistribusikan film ini.”
Dari kacamata seorang produser, memproduksi sebuah film untuk dirilis dengan cara gerilya tentu memiliki tantangan tersendiri. “Sebagai produser, saya punya tanggung jawab moral dan komersil. Saat menghadapi investor untuk mendanai produksi film “Metamotfoblus”, saya berusaha meyakinkan bahwa penghasilan yang didapatkan dari cara bioskop alternatif ini masih bisa di-generate,” lanjut Ursula. Hasil penelitiannya dari pemutaran “Generasi Biru” dahulu membuat Ursula bisa membuat perkiraan penonton untuk “Metamorfoblus” dan tempat pemutaran seperti apa yang cocok. “Di tempat pemutaran alternatif, ternyata penonton bisa jadi jauh lebih rileks. Di sebuah pemutaran “Generasi Biru”, saya bahkan mendengar penonton nyanyi bersama-sama saat menonton.”
Dalam tahap pertama, roadshow film “Metamorfoblus” ini akan diadakan di 10 kota, meliputi Jakarta, Bogor, Bekasi, Cirebon, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Malang, dan Probolinggo. Kota-kota yang berada di Pulau Jawa tersebut akan menjadi sebuah percobaan sebelum nantinya akan diputar ke wilayah Indonesia lainnya.
“Sebenarnya sudah banyak sekali permintaan untuk pemutaran film ini. Dari Indonesia bagian timur pun juga sudah ada permintaan yang masuk. Bahkan, ada juga yang meminta diadakan pemutaran di anjungan lepas pantai (sebuah bangunan untuk kegiatan eksplorasi atau eksplorasi bahan tambang, minyak bumi, gas bumi, dan lain-lain). Jadi, kalau dianggap penonton Indonesia itu berkurang sebenarnya kurang tepat. Di berbagai tempat di Indonesia, masih banyak calon penonton,” kata Ursula. Ketika ditanya mengenai dampak seperti apa yang diharapkan bisa terjadi kepada perfilman Indonesia, Ursula pun berkata,“Saya berharap akan terciptanya kesadaran kalau penonton itu selalu ada.”
Semoga “Metamorfoblus” dengan gerakan bioskop alternatif bersama film-film lainnya akan membuktikan kalau penonton itu memang selalu ada dan selalu mendukung perfilman Indonesia.