Feature


Rabu, 26 Februari 2014 - 22:10:55 WIB
Stephen Odang Membahas The Right One
Diposting oleh : Taufiqur Rizal (@TarizSolis) - Dibaca: 3478 kali

Selain melakukan perbincangan panjang lebar (namun seru) bersama Gandhi Fernando, Flick Magazine juga berkesempatan untuk mengulik lebih dalam perihal The Right One secara langsung dari sang sutradara, Stephen Odang. 

Berikut petikan wawancara antara Flick Magazine dengan Stephen Odang:

Bisa diceritakan sedikit bagaimana awal mula dari proyek The Right One ini?

Tadinya sih bukan The Right One. Ada naskah lain yang dibawa oleh Gandhi (Gandhi Fernando, pemain dan produser The Right One). Waktu itu kita belum nemu writer yang cocok di Indonesia untuk ceritanya, sampai akhirnya Gandhi ngasih gue skrip buatan Jonathan Cocco (penulis skrip The Right One) via email. Saat kita pilih writer, misalnya seperti Jonathan Cocco, bukan karena sok Hollywood. Tapi emang, to be honest, gue sekolah di sana (Amerika Serikat), I learned all the method proper of storytelling, jadi enak kolaborasi sama Jonathan. Bahkan saat kita berhubungan lewat Skype aja, itu nyambung.

Kenapa menggunakan dialog dalam Bahasa Inggris?

Kalau ada yang nanya kenapa in EnglishWell... Jonathan writes in English, jadi kita just translated apa yang screenwriter kita tulis. Dan saya rasa, orang-orang di Bali juga mulai open ya. Everybody speaks English. Salah satu alasan kenapa di-shoot di Bali ya karena menyesuaikan dengan skripnya. Interaksi Inggris di film ini pun juga antar pemain, kalau interaksi dengan orang Indonesia ya kita tetap pakai Bahasa Indonesia. Kalau di Jakarta nanti malah pada bertanyaa-tanya, kenapa sih sok-sokan pakai English.

Alasan pemilihan Tara Basro?

Tadinya sih, gue ya pertama-tama belum buka suara. As usually, kalau Gandhi oke ya gue pasti oke. Lalu, saat Nadine Alexandra – pilihan awal – tidak bisa, gue milih Tara Basro. Gue pernah melihat dia sewaktu proses casting buat Killers, Inggrisnya bagus dan lumayan natural.

Menilai berdasarkan trailer, sepertinya The Right One mengambil referensi dari Before Sunrise dan Before Sunset. Benar begitu?

Kalau waktu gue baca dari awalnya, iya mirip dengan Before Sunrise dan Before Sunset. Terus gue bilang ke Gandhi, let me challenge myself to do this.  Sewaktupre-production, kita nonton Before Sunrise. Karena belum semuanya pernah nonton, akhirnya kita oper-oper dvd. Basically, tali merah dari dua film ini (Before Sunrise dan The Right One) ada pada dua karakter utamanya. Gue ngasih film ini sebagai reference untuk orang-orang tahu bagaimana stylistic, gaya-gaya, sampai-sampai saat pre-production kita nggak cuma explore filmnya tetapi gue juga menggali sampai ke behind the scene-nya.

Foto

Gandhi Fernando sempat tidak setuju dengan color tone dari The Right One. Apa yang melandasi keputusanmu dalam memilih warna tertentu untuk diaplikasikan ke film?

Gue sama Robby (Robby Sutanto, sinematografer The Right One) itu udah milih warna dari kita take shoot. Kita udah diskusiin mau sampai mana warnanya, jadi kita udah tahu dari awal. Karena dari pengalaman gue syuting di film sebelumnya, monitor itu susah buat di-judge jadi mending kamu udah ada gambaran warna dulu.

Apa yang coba kamu eksplor di The Right One?

Yang gue coba lebih eksplor adalah purpose of the scene. Karena kan film is progressing, jadi misalnya, scene ini mau dibawa kemana. What’s next. Itu yang kita harus eksplor, bukan kayak ‘kamu nanti posisinya begini ya’. Kita lebih eksplor ke yang on set dimana para pemain udah tahu gambaran dari setiap scene. Apa yang harus dilakukan sebelum ini, apa yang harus dilakukan setelah ini. Naturally, mereka juga udah ada chemistry.

Apa yang kamu harapkan dari penonton di Indonesia untuk The Right One?

Ini untuk general juga ya. Film itu prosesnya panjang. Yang dari tadi kita diskusiin itu prosesnya gue sama Gandhi, kita nggak tahu prosesnya Jonathan seperti apa.The first word on the paper. Prosesnya itu panjang untuk menjadi suatu film. Apresiasi yang orang harus tahu, it’s not easy to make a film. Di sini yang mau gue cerita aja, orang di Indonesia itu mesti lebih appreciate ke filmnya sendiri dulu. Dengan cara apa? Ya, nontonnya di bioskop, jangan minta tiket gratisan, jangandownload ilegal. Gila, kita udah capek-capek syuting, download hanya beberapa menit, nonton, udah. Nontonnya juga nggak konsen. Karena belum bisa buat produksi film kita untuk dibajak seperti itu.  

The Right One tayang di bioskop-bioskop Indonesia mulai 27 Februari 2014.

Foto


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.