Setelah cukup puas mengamati Jakarta melalui berbagai rasa dan sudut pandang di dua seri Jakarta, Jakarta Maghrib dan Jakarta Hati, kali ini Salman Aristo rehat sejenak untuk beralih ke proyek lain dimana dia mencoba menantang dirinya sendiri dengan bereksperimen dalam film terbaru garapannya, Cinta Dalam Kardus. Pria kelahiran Jakarta, 13 April 1976, yang lebih dikenal sebagai penulis naskah ini (karya terlarisnya adalah Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta) mencoba mengemas film paling anyarnya ini dalam bentuk yang unik, berbeda dan tidak biasa. 85% dari durasi film mengambil latar di panggung!
Beberapa pekan silam, Salman Aristo bertandang ke Semarang dalam rangka 'Roadshow Jakarta Hati' dengan Kronik Film Media Undip Semarang selaku tuan rumah. Flick Magazine mendapatkan kesempatan emas untuk berbincang-bincang dengan suami dari Ginatri S. Noer ini mengenai proses pembuatan dari seri Jakarta, Cinta Dalam Kardus, proyek berikutnya serta kesibukannya saat ini di KG Studio selama kurang lebih setengah jam.
Berikut rangkuman wawancara Salman Aristo dengan Flick Magazine:
Flick Magazine (FM) : Dua film pertama dari Mas Salman Aristo, Jakarta Maghrib dan Jakarta Hati, dibuat dalam bentuk omnibus. Adakah alasan tertentu mengapa memilih omnibus?
Salman Aristo (SA) : Jadi begini, khusus untuk seri Jakarta, so far yah, saya akan mengerjakannya dalam bentuk omnibus. Mengapa harus dalam bentuk omnibus? Karena Jakarta tidak pernah selesai buat saya. Jakarta itu kontemporer. Medium dan cara bertutur yang paling tepat adalah dengan membuat sketsa, membuat kronik. Sketsa itu kan gambaran yang tidak selesai tapi berusaha mencerminkan hal yang besar. Dengan sketsanya, dia berusaha menangkap sesuatu yang memberikan ruang kepada orang untuk memberikan interpretasi terhadap garis-garis yang tidak selesai agar diselesaikan secara bersama-sama. Lebih tepat buat saya cara seperti itu untuk menggambarkan Jakarta, jadi seri Jakarta saya mungkin akan selalu omnibus. Ya, secara kasarnya dan paling sederhana adalah nggak cukup satu cerita untuk menggambarkan. Saya butuh lebih dari itu.
FM : Jadi, seri Jakarta ini akan terus berlanjut? Tidak hanya berhenti sampai Jakarta Hati atau mungkin film ketiga saja?
SM : Oh, nggak. Tadinya, setelah Jakarta Hati akan ada Jakarta Bangsat. Malah sebelumnya Jakarta Bangsat akan dibuat lebih dulu ketimbang Jakarta Hati. Cuma, saya menunggu. Menunggu cerita mana yang lebih mendesak untuk saya ceritakan. Akhirnya malah Jakarta Hati duluan, padahal Jakarta Bangsat sudah jadi. Saya mencoba se-intuitif itu kepada seri-seri Jakarta saya. Setelah semuanya kelar, berarti Jakarta Bangsat setelah ini. Konsep dimatangkan lagi. Bahkan saya sudah nge-pitch itu ke KG Studio. Cuma kemarin waktu lagi development, tahu-tahu saya terpicu oleh sesuatu yang lain dan kayaknya malah Jakarta Haha duluan. Bahkan, ada lagi yang judulnya Jakarta Deadline atau Jakarta Tenggat yang rencananya setelah Jakarta Bangsat. Itu juga tergeser. Jakarta Haha itu benar-benar baru, tapi malah jadi duluan. Saya juga masih punya Jakarta Asing, Jakarta Maut, dan Jakarta-Jakarta lainnya. Semoga tidak hanya berhenti di seri kedua atau ketiga karena masih terlalu menarik buat saya untuk bermain-main dengan cara seperti ini.
FM : Manakah yang akan Mas Salman kerjakan lebih dulu, Jakarta Bangsat atau Jakarta Haha?
SA : Yang bakal saya kerjakan duluan adalah Jakarta Haha. Konsepnya sudah jadi secara lebih solid. Saya sudah menemukan konsep besarnya, yang berarti sudah menemukan tagline dan logline. Jakarta Haha itu tagline-nya adalah 'tertawalah sebelum tertawa itu dikarang'. Saya melihat itu, bahwa orang Jakarta (orang Urban) bahkan untuk tertawa saja sudah harus mengarang cerita mereka sendiri. Sudah harus membuat-buat. Itu kan jadi satir. Satir dari berbagai macam sudut pandang seperti dua seri Jakarta sebelumnya tapi lebih mencoba menertawakan banyak hal dilihat dari sudut pandang satir, sudut pandang komedi, dan sudut pandang ironis dalam artian satir ya.
FM : Untuk pembuatan dua seri Jakarta ini sendiri membutuhkan waktu berapa lama? Dari mulai proses pengembangan ide, proses syuting, hingga sajian utuh?
SA : Kalau untuk syuting, cuma bentar. Jakarta Hati hanya 8 hari, sementara Jakarta Maghrib malah cuma 6 hari. Tapi untuk nyiapinnya, Jakarta Maghrib butuh waktu 2 tahun kalau Jakarta Hati kurang lebih 1,5 - 2 tahun. Jadi begini, begitu Jakarta Maghrib selesai syuting, saya sudah memikirkan Jakarta yang lainnya. Jakarta Hati sudah mulai terpikirkan, sudah mulai terkumpul-kumpul. Malah ada beberapa skrip di Jakarta Hati yang sudah jadi jauh sebelum Jakarta Maghrib, seperti 'Orang Lain' dan 'Dalam Gelap'. Dan sewaktu lagi pre-production Jakarta Hati, Jakarta Bangsat malah sudah mulai kebentuk. Beberapa cerita buat seri Jakarta lain dari sekarang pun sudah ada. Tapi kalau bicara mengenai pengembangan, butuh waktu kurang lebih 1,5 tahun, termasuk untuk merancang produksinya. Karena begini, selain masalah kebutuhan, saya juga mencoba untuk membuat semacam landmark perkembangan saya sebagai sutradara secara teknis dan secara sinematik. Perkembangannya dari mana saya ingin menjadikan seri Jakarta ini sebagai titiknya. Jakarta Maghrib secara produksi kan, aduh banyak bolongnya deh. Saya mencoba membayar itu di Jakarta Hati dengan produksi yang lebih elegan, lebih solid, dan lebih lebih lainnya. Saya mencoba untuk melakukan eksplorasi dan menantang diri saya sendiri, seperti contohnya dalam segmen 'Dalam Gelap'. Nanti mungkin akan ada sesuatu yang beda di Jakarta Haha. Intinya sih, saya mau melakukan apa lagi. Seri Jakarta ini menjadi titik 'saya mau ngapain lagi' sebagai sutradara, produser, maupun penulis naskah. Ini semacam arena bermain buat saya.
FM : Apa kesibukan Mas Salman Aristo saat ini?
SA : Sekarang lagi nyiapin Cinta Dalam Kardus dan pre-production buat film berikutnya untuk KG Studio, tapi bukan saya sutradaranya, saya sebagai penulis. Saat ini saya sibuk di KG Studio, bukan cuma film tetapi juga buat drama TV. Jika ditanya apa kesibukan saya sekarang, ya... sekarang saya sibuk membangun KG Studio.
FM : Berbicara mengenai Cinta Dalam Kardus, apa yang membuat Mas Salman Aristo tertarik untuk menyutradarai film ini?
SA : Karena saya harus pitching ke CEO Kompas Gramedia yang akan bikin perusahaan film. Bussiness plan apa yang saya punya. Saya harus punya satu konsep yang unik untuk membuat mereka tertarik dan secara bisnis juga aman. Saya mau menunjukkan yang namanya sinergi saat saya presentasi. Kompas kan ada banyak keluarganya, ada banyak anak-anak perusahannya, saya ingin bersinergi dengan itu salah satunya adalah Kompas TV yang kebetulan satu holding. Kompas TV sudah membuat semacam sebuah revolusi dengan menciptakan tren baru, yakni stand-up comedy. Sesuatu yang dahsyat sekali di anak muda zaman sekarang. Setiap kafe sekarang punya stand-up comedy night. Semua anak muda ingin menjadi stand-up comedian. Dahsyat, ini terjadi dalam waktu kurang dari 3 tahun. Waktu itu, saya berpikir, 'apa ya sesuatu yang unik yang dapat saya kolaborasikan'. Saya teringat bahwa di Hollywood ada yang namanya film monolog. Yang paling klasik adalah Swimming to Cambodia-nya Spalding Gray yang disutradarai Jonathan Demme. Ternyata ada banyak film monolog. Spalding Gray saja ada dua, setelah Swimming to Cambodia masih ada Gray's Anatomy yang dibuat oleh Steven Soderbergh. Lalu ada The Telephone yang dibintangi Whoopi Goldberg di tahun 80-an, itu basically juga film monolog. Monolog karena cuma ada satu orang. Kalau Swimming to Cambodia lebih ekstrim lagi, 87 menit Spalding Gray cuma duduk.
Nah, saya itu ingin bikin semacam pathline, ada low-budget filmmaking dan medium-high budget filmmaking. Kalau low-budget ini kan harus ada sesuatu yang unik, sesuatu yang punya statement. Saya bikin dua pathline untuk KG Studio. Pathline pertama saya adalah film monolog ini. Saya langsung kontak Dika (Raditya Dika). Jadi idenya jauh dari sebelum dia bikin Malam Minggu Miko. Saya nelpon Dika, "Dik, kamu tahu film monolog, kan?'. Dia bilang, "tahulah, Dika gitu." Lalu kita ketemuan, awalnya kita mau buat jadi 100 % film monolog murni, pelan-pelan ternyata berkembang, berkembang, berkembang akhirnya nggak jadi film monolog dan jadilah Cinta Dalam Kardus. Di tengah development Cinta Dalam Kardus, Dika bikin Malam Minggu Miko. Tadinya, karakter di Cinta Dalam Kardus itu belum punya nama. Saya melihat Malam Minggu Miko, baru episode satu episode dua, bahkan sebelum diambil oleh Kompas TV saya bilang, "Cinta Dalam Kardus karakternya Miko." Ini universe line dari Miko. Jadi, sebenarnya Cinta Dalam Kardus malah lebih dulu daripada Malam Minggu Miko, cuma dia berkembang tidak lagi menjadi film monolog tapi lebih ke film hybrid. Saya juga tidak tahu eksperimen ini akan menjadi seperti apa bentuknya sampai sekarang masih deg-degan. Karena bisa dibilang 85% itu di panggung. Film panggung. Ya, nggak tahu seperti apa hasilnya, tapi usahanya adalah membuat sesuatu yang unik, berani dan beda. Pathline saya buat low-budget filmmaking itu ya seperti itu, karena kalau nggak ya ngapain. Kalau mau nyari yang hit, yang box office, kita pakai yang medium-high. Low-budget filmmaking ini tempat untuk membanjiri pasar dengan good quality product. Kata kunci ada di 'banjir'. Nah, buat corporate yang masuk akal ya seperti ini jadi bujet pun harus terbatas. Dari situlah lahir ide film monolog karena faktor bujet yang tidak besar, hanya ada Dika di panggung. Konsep ini kemudian berkembang, tidak lagi menjadi film monolog melainkan menjadi hybrid, namun masih dalam skala film berbujet rendah.
FM : Tadi Mas Salman mengatakan bahwa film akan bersetting sebagian besar di atas panggung, bisa dijelaskan lebih mendetail?
SA : Begini, secara garis besar cerita Cinta Dalam Kardus adalah tentang Miko yang mencoba untuk melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang selama ini dia lakukan - dari malam minggu-malam minggu sebelumnya - dengan mencoba open mic di kafe langganannya. Dia belum pernah open mic sebelumnya. Dia lagi pusing karena pacarnya merongrong dia terus dengan hal-hal yang aneh, pokoknya apa saja diributin. Miko sudah mulai berpikir untuk mutusin pacarnya. Nah, ketika dia mau berangkat, dia melihat ada kardus yang isinya barang-barang dari mantan gebetannya. Sudah ada rencana buat dibuang, tapi tak kunjung dibuang, malah akhirnya kebawa ke atas panggung tempat dia melakukan open mic. Begitu dia stand-up, Miko terjebak perdebatan soal relationship dengan penonton. Teori-teorinya soal hubungan yang cukup berbeda membuatnya mendapat pertanyaan, "kamu dapat pengalaman dan teori dari mana soal hubungan?" dan semacamnya. Dia pun mengambil kardus yang dibawanya dan dia mulai bercerita. Setiap barang mewakili satu cewek. Dan begitu dia bilang, "ini barang sewaktu saya ketemu si A di restoran", lalu di sebelah kanannya dia muncul panggung restoran. Yang tidak bisa dilihat oleh penonton kafe secara logika cerita, tapi bisa dilihat oleh penonton film. Jadi flashback tidak akan seperti kebanyakan film, flashback di panggung. Untuk ini, saya banyak terinspirasi dari Woody Allen.
FM : Bisa dibilang, Malam Minggu Miko adalah salah satu serial paling populer saat ini. Ada beban tidak saat mencoba mengangkatnya ke dalam bentuk film layar lebar?
SA : Mungkin yang perlu saya tegaskan, ini bukan remake dari Malam Minggu Miko. Ini juga bukan versi layar lebarnya. Sama sekali bukan, beda banget. Character universe memang ya, tapi untuk ceritanya ini seperti melanjutkan after Malam Minggu Miko. Apa yang terjadi dengan Miko sesudah itu, dengan malam minggunya yang lain. Ini adalah Malam Minggu Miko yang berbeda dengan apa yang sudah ada di Youtube. Jadi saya tidak merasa punya beban karena saya justru mencoba untuk meng-alter apa yang sudah dibuat Dika di Malam Minggu Miko.
FM : Selama ini filmografi Mas Salman Aristo didominasi oleh genre drama dan komedi, apakah ada rencana untuk menjajal sesuatu yang berbeda, mungkin horor?
SA : Banget, ada. Satu hal yang perlu dipahami terlebih dahulu, buat saya genre sih genre. Tidak bisa seperti sekarang yang horor mendadak mengalami proses pengantagonisan oleh banyak kalangan. Buat saya, horor itu genre yang sangat penting sekali karena horor lahir dari ketakutan bangsa Jerman setelah Perang Dunia I, kalau tidak salah. Mereka mengekspresikan ketakutan mereka, kekalahan perang mereka, dan segala macam. Jerman mungkin salah satu bangsa yang mengalami horor sosial berkali-kali. Setelah Perang Dunia I, ada Nazi yang sampai sekarang stigmanya masih menempel di mereka. Mereka menerjemahkannya, salah satunya dalam bentuk horor, dalam bentuk film. Jadi horor itu penting sekali dalam relasinya dengan kehidupan sosial masyarakat. Nggak bisa secara sembarangan menganggap horor sebagai genre yang seperti orang pikirkan saat ini, nggak. Menyalahkan horor sebagai penyebab industri film seperti yang sekarang itu sama saja seperti menyalahkan pisau untuk sebuah peristiwa pembunuhan. Bukan salah pisaunya dong.
Balik lagi ke pertanyaan awal, apakah saya akan bikin film horor? Iya, saya akan bikin horor. Belum punya kesempatannya saja. Cerita sih sudah ada. Tapi yang jelas, saya sangat mengagumi Sam Raimi kalau mau bikin film yang fun, thrilling, dan action. Tapi untuk kedalaman dan segala macam, Guillermo del Toro masih menjadi mentor saya untuk genre ini. Yang bisa saya jadikan sebagai referensi, Nya' Abbas Akup. Drakula Mantu adalah salah satu film paling dahsyat yang pernah dibuat di Indonesia, buat saya. Jadi kan bukan salah genre-nya. Siapa bilang horor komedi belum pernah dipakai, Nya' Abbas Akup pernah melakukannya di Drakula Mantu yang mana merupakan salah satu film dengan kritik sosial paling dahsyat. Beliau juga pernah membuat komedi seks melalui Inem Pelayan Sexy dimana kritik sosialnya luar biasa sekali. Jadi kan bukan salah genre-nya. Filmmaker-nya saja yang belum punya kapasitas seperti itu.
FM : Setelah Cinta Dalam Kardus, apa proyek film berikutnya?
SA : Buat sebagai sutradara, so far, belum ada. Tapi kalau yang saya produce untuk KG Studio ada Skak Mat, film action-comedy yang disutradarai oleh Awi Suryadi. Seharusnya sih ada Jakarta Haha, tapi mungkin saya lempar ke tahun depan agar waktu produksinya bisa lebih panjang.