Feature


Selasa, 05 Maret 2013 - 22:54:30 WIB
Wawancara Bersama Jajang C. Noer
Diposting oleh : Taufiqur Rizal (@TarizSolis) - Dibaca: 2750 kali

Para pemerhati film tentu tahu, Jajang C. Noer adalah aktris senior paling produktif akhir-akhir ini. Betapa tidak, sekurang-kurangnya telah ada tiga film Indonesia yang menampilkannya dalam tiga bulan terakhir ini - sebut saja Cinta Tapi Beda, Gending Sriwijaya dan Belenggu. Meski demikian, bukan berarti aktris yang baru saja menyabet gelar Aktris Terbaik menurut versi Apresiasi Film Indonesia (AFI) dan Piala Maya untuk perannya dalam film Mata Tertutup ini dengan mudah menerima peran yang disodorkan kepadanya. Ada beberapa kriteria yang ditetapkan, salah satunya perihal siapa yang menjadi sutradara. 

Flick Magazine berkesempatan untuk bertanya lebih jauh mengenai hal ini kala berbincang-bincang secara langsung dengan Jajang C. Noer usai pemutaran dan diskusi film Mata Tertutup di IKIP PGRI Semarang pada 5 Maret 2013. Selain itu, beberapa pertanyaan mengenai karirnya sebagai aktris dan sutradara, perannya dalam Mata Tertutup, serta film berikutnya juga turut disinggung. Hanya saja, sungguh disayangkan waktu yang serba terbatas tidak memungkinkan wawancara ini berkembang lebih jauh. Padahal, mengobrol dengan Jajang C. Noer tidak bisa jika hanya berlangsung dalam kurun waktu belasan menit saja. Sungguh mengasyikkan dan ada banyak hal yang dapat dipelajari.

Inilah yang wawancara yang dilakukan oleh Flick Magazine dengan Jajang C. Noer. 

Apa yang membuat Mbak Jajang tertarik untuk membintangi Mata Tertutup?

Pertama, karena Garin Nugroho yang minta. Saya selalu pengen disutradarai oleh sutradara yang jelas visinya. Lalu Garin mengatakan bahwa yang meminta dia adalah Ma'arif Institute dan topiknya mengenai perekrutan NII. Wah, saya semakin semangat. Belum nego harga, berapapun mau dikasih sama dia, saya langsung bilang 'ya'. Udah begitu saja. Jadi, ada dua hal yang membuat saya tertarik. Pertama, karena Garin yang menyutradarai. Kedua, karena isu yang diangkat sangat penting.

Ini adalah film kedua bersama Mas Garin Nugroho?

Ya. Yang pertama Surat Untuk Bidadari, itu tahun 1991. Sejak itu, saya selalu ingin bermain di film Garin. 

Apa tantangan terberat yang dihadapi saat bermain di Mata Tertutup?

Nggak ada sulit. Yang sulit mungkin ya karena syutingnya saat bulan puasa jadi haus. 

Apa peran yang paling menantang dan paling menyenangkan sepanjang karir Mbak Jajang?

Ini juga menyenangkan sih ya (Mata Tertutup). Hampir sama semua, mungkin dari sepuluh film yang saya main hanya satu yang saya nggak suka. Kebanyakan saya suka karena ya itu tadi seperti yang sudah saya bilang, saya hanya mau disutradarai oleh orang yang jelas maunya apa. Hasilnya pasti bagus. Saya nggak mungkin main di film yang sembarangan. 

Tapi, apakah Mbak Jajang pernah mendapat peran yang sangat sulit?

Gending Sriwijaya. Itu soal logat. Itu soal bahasa ya. Itu yang bikin sulit setengah mati karena saya nggak tahu dan belum pernah mendengar logat Palembang kayak apa. Suasana Palembang nggak saya dapet. Beda dengan Batak, Jawa, Gorontalo, apalagi Padang kan banyak dan sering kita dengar. Tapi Palembang saya belum pernah tahu.

Apa kesibukan Mbak Jajang saat ini?

Ya, beginilah. Main-main film saja. Lha ini sekarang film saya lagi main dimana-mana, Belenggu. Bulan depan ada lagi yang judulnya Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta. Ada lagi nanti Rumah dan Musim Hujan. Masih ada beberapa juga yang akan tayang. 

Bagaimana dengan film yang akan datang? Maksud saya, film yang masih dalam penggarapan?

Kalau yang sedang digarap belum ada. Tapi untuk yang mendatang, saya akan main film yang disutradarai oleh Bayu. Dia baru menyutradarai, saya rasa, atau belum banyak. Tapi saya kenal dia waktu menjadi editor. Waktu itu dia editor di Multivision dan dia mengedit serial saya. Saya tahu mutu dia seperti apa. Jadi, saya mau main di film dia.

Dulu Mbak Jajang kan pernah menyutradarai serial, apakah ada keinginan untuk kembali duduk di bangku sutradara saat ini?  

Iya, saya pernah menyutradarai dua serial. Yang pertama, Bukan Perempuan Biasa bersama Multivision, dan yang kedua, Ibu, dengan Multivision juga. Lalu beberapa FTV, ada 12 FTV, dengan Prima Entertainment - cikal bakal munculnya SinemArt. Tapi untuk kembali sebagai sutradara, emmm... nggak ya. Karena waktu itu saya memang jarang diminta main. Kebetulan, kemudian ada naskah serial Bukan Perempuan Biasa yang sedianya akan digarap oleh (almarhum) Arifin C. Noer, tapi karena Mas Arifin meninggal, jadi saya ambil karena saya merasa bisa membuat itu dengan gaya dia. Jadi selama satu setengah tahun saya perjuangkan ini ke Pak Raam Punjabi di Multivision, akhirnya beliau kasih izin ke saya untuk menyutradarai. Setelah itu, saya nggak bikin-bikin lagi karena lebih susah menyutradarai, kalau pemain kan lebih gampang (tertawa). 

Pertanyaan terakhir, apa yang ingin Mbak Jajang sampaikan untuk film Indonesia?

Film Indonesia itu harus terus ada. Harus terus ada. Karena itu penting sekali. Satu, karena itu menggambarkan realitas dari masyarakat kita. Dua, bisa dipakai untuk menyampaikan hal-hal yang baik dan yang buruk supaya kita tahu apa yang baik dan apa yang buruk. Karena sangat penting, maka dari itu harus dibikin secara sungguh-sungguh dengan hati dan otak yang baik. Jika dibikin secara salah dan ngawur, ya maka semuanya jadi serba salah dan ngawur. Kira-kira seperti itu. 


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.