Berbeda dengan apa yang menjadi anggapan banyak orang, Soegija (2012), film karya Garin Nugroho yang akan mulai diputar di bioskop tanggal 7 Juni yang akan datang bukan merupakan kisah biopic. Meski mengetengahkan cerita tentang Mgr. Albertus Soegijapranata, uskup pribumi pertama yang juga merupakan pahlawan nasional, Soegija lebih banyak bercerita tentang nasionalisme dan kebangsaan. Sebuah potret tentang nilai-nilai kepahlawanan dan kemanusiaan yang melampaui agama, bangsa, dan bahasa.
Nirwan Dewanto, pemeran Mgr. Soegijapranata dalam film ini, menjelaskan bahwa Soegija bukanlah sebuah biopic. “Sejak awal saya mengatakan ini bukan biopic. Film ini tidak berkisah tentang riwayat hidup Soegija dalam arti biografi dia sejak kecil sampai dia dewasa kemudian meninggal,” katanya. Menurut Nirwan, film ini lebih banyak menampilkan visi atau renungan Mgr. Soegijapranata, khususnya renungan yang terjadi di masa revolusi kemerdekaan.
Film dengan latar waktu tahun 1940 sampai 1949 ini tidak hanya bercerita dari sisi Mgr. Soegijapranata saja. Dalam nuansa multikultur yang dihadirkan oleh film ini, Garin menampilkan kisah orang-orang dari berbagai bangsa yang berada dalam masa yang penuh gejolak ini.
Dalam Soegija hadir beberapa sudut pandang lain, seperti dari sisi tokoh bernama Mariyem (Annisa Hertami). Wanita pribumi ini terpisah dari kakaknya, Maryono (Muhammad Abe), saat Jepang datang ke Indonesia di tahun 1942. Ling Ling (Andrea Reva), gadis kecil dari etnis Tionghoa juga terpisah dari ibunya (Olga Lydia) di masa ini.
Dari sisi Jepang, ada sosok Nobuyuki (Suzuki), seorang tentara Jepang penganut Buddhisme yang selalu teringat pada anaknya saat melihat bocah-bocah cilik dalam kancah peperangan. Dari sisi Belanda, ada Robert (Wouter Zweers), seorang tentara Belanda yang merasa tersentuh saat menemukan seorang bayi di medan perang. Hendrick (Wouter Braaf), seorang jurnalis Belanda yang jatuh cinta pada seorang gadis pribumi juga harus kehilangan cintanya karena perang. Selain itu ada juga Koster Tugimin (Butet Kartaredjasa) sebagai sosok yang membantu Mgr. Soegijapranata.
Nirwan melihat bahwa kehadiran tokoh-tokoh ini merupakan salah satu cara untuk bercerita tentang visi yang dimiliki Mgr. Soegijapranata. “Misalnya Mariyem yang sangat saleh menjadi seorang juru rawat. Kehadiran Mariyem di film itu merupakan wujud visi Soegija tentang soal-soal kebangsaan dan dan kemanusiaan. Bahkan dialog-dialog Soegija dengan kosternya, yaitu Tugimin, Mas Butet, itu juga merupakan semacam diskusi,” katanya. “Tetapi bagi saya ini semuanya menjadi satu cerita. Jadi Soegija itu adalah film dengan banyak cerita, tapi semuanya berhubungan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan yang mampu berkomunikasi dengan penonton.”
Kisah Mgr. Soegijapranata sendiri digambarkan dalam perjuangannya bagi kemerdekaan bangsa Indonesia tanpa melalui jalur kekerasan. Meski dirinya merupakan tokoh agama Katolik, Mgr. Soegijapranata melihat bahwa kemanusiaan itu satu. Hal ini pula yang mendorongnya untuk berjuang di jalan politik dan melawan penjajahan. Usahanya untuk berdiplomasi juga dilakukan melalui persuasi di berbagai media dengan tulisan-tulisannya, supaya dunia internasional mau mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat.
“Kalau saya membayangkan pada zaman transisi, sebagai NKRI zaman Jepang, NKRI zaman Belanda, itu kan sebuah zaman dimana orang itu banyak berspekulasi. Tidak jelas mau berpihak kepada siapa. Tapi disini saya lihat bagaimana sebuah pemihakan dari seorang pastor yang jelas, nyata, pada semangat kebangsaan itu. Dan itu memang apa yang terjadi pada Romo dapat terjadi pada siapa saja. Jadi nilai-nilai kebangsaan yang muncul dari Romo dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini sebenarnya pesan yang ingin disampaikan,” tambah Nirwan.