Dikenal dengan film-film semacam Haute Tension (2003), The Hills Have Eyes (2006) dan Piranha 3D (2010) yang menawarkan kengerian dengan menampilkan darah dan potongan-potongan tubuh kepada para penontonnya, sutradara asal Perancis, Alexandre Aja, mencoba untuk bermain dalam sebuah wilayah pengarahan yang sedikit berbeda dalam film terbarunya, Horns. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Keith Bunin berdasarkan novel berjudul sama karya Joe Hill, Horns masih menempatkan Aja pada nada penceritaan yang cukup familiar – supernatural thriller dengan bumbu black comedy yang kental – namun hadir dalam jalinan kisah mengenai cinta, keluarga, persahabatan dan agama yang membuat film ini tampil sedikit lebih kompleks jika dibandingkan dengan film-film arahan Aja sebelumnya. Dan, sayangnya, hal itulah yang secara perlahan menjerat Aja dan membuatnya terasa sedikit kebingungan bagaimana menampilkan kekayaan konten ceritanya tersebut secara merata.
Bukan bermaksud untuk menyatakan bahwa Horns adalah sebuah presentasi yang buruk. Dalam banyak kesempatan di 120 menit durasi penceritaannya, Horns mampu hadir sebagai dengan deretan ide yang brilian dan mampu dieksekusi dengan baik melalui imajinasi visual Aja yang berani. Horns juga seringkali berhasil menjadi sebuah character study bagi tema-tema cerita yang ingin dibawakannya. Dan Aja masih dapat memberikan kesenangan yang melimpah bagi penontonnya melalui satir dalam jalan ceritanya serta deretan adegan kekerasan yang, tentu saja, akan mengingatkan penonton mengenai berbagai karya Aja di masa lampau.
Bagian yang menjebak Horns untuk gagal menjadi sebuah sajian yang lebih kuat lagi adalah kegagalan Aja dalam menyajikan ceritanya melalui ritme penceritaan yang tepat. Seringkali, Horns terasa begitu lamban dalam pengisahannya untuk kemudian menyeret penonton ke berbagai detil yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan dalam penceritaan. Beberapa alur penceritaan yang menampilkan adegan cerita di masa lampau juga tidak dipungkiri kurang mampu ditempatkan dengan baik oleh Aja yang menjadikan narasi cerita menjadi kurang kuat serta, yang lebih fatal, beberapa misteri kemudian menjadi “terselesaikan” sebelum waktunya.
Terlepas dari kekurangannya tersebut, Horns hadir dalam satuan penampilan akting yang kuat dari deretan pengisi departemen aktingnya, khususnya dari sang pemeran utama, Daniel Radcliffe. Dengan penceritaan karakter yang digambarkan sebagai sosok yang moody, datar dan cenderung melakukan pemilihan keputusan yang salah – alias cukup sukar untuk disukai, Radcliffe justru tetap mampu membuat penonton memberikan simpati kepada karakter yang ia perankan dan terus mengajak mereka untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Dengan kharismanya yang begitu kuat, Radcliffe menjadi tombak utama bagi Horns untuk tetap mampu mengalir dalam penceritaan yang cukup mengikat.
Selain karakter yang diperankan Radcliffe, harus diakui naskah cerita Horns tidak memberikan ruang yang cukup bagi karakter-karakter lain untuk berkembang. Pada kebanyakan bagian, keberadaan karakter-karakter minor lain terkesan hanya dijadikan sebagai alat agar penceritaan tetap berwarna dan berjalan. Tidak lebih. Meskipun begitu, karakter-karakter pendukung tersebut tetap mampu tampil mencolok berkat penampilan akting yang kuat dari para pemainnya. Mulai dari Juno Temple, Max Minghella, Joe Anderson, Heather Graham, Kelli Garner hingga David Morse mampu memberikan penampilan akting terbaik mereka sekaligus menjadi salah satu faktor kuat mengapa Horns masih layak untuk dinikmati terlepas dari beberapa kelemahan krusialnya.
Rating :