Siapa itu Likas? Sebuah pertanyaan yang mungkin muncul saat mengetahui jika film 3 Nafas Likas diangkat dari kisah kehidupan seorang yang nyata. Lantas muncul pertanyaan lain, apa urgensinya hingga kisah hidupnya layak untuk difilmkan? Pertanyaan yang wajar, mengingat ruang lingkup pemikiran kita tentang film biografi memang masih seputar penting atau tidak ia menjadi tontonan awam.
Film berkisah tentang seorang perempuan bernama Likas Tarigan. Jangan menyalahkan diri jika tidak mengenal siapa dirinya, karena Likas hanyalah istri dari seorang pejuang kemerdekaan asal Tanah Karo, Sumatera Utara, bernama Djamin Ginting. Dan jangan pula merasa gundah jika tidak mengetahui siapa itu Djamin Ginting. Meski ia memiliki banyak prestasi yang mengagumkan, namun sejarah bangsa Indonesia kurang merasa perlu untuk mencatat namanya dengan cetak tebal hingga mendapat perhatian lebih.
Namun 3 Nafas Likas bukan tentang Djamin Ginting, sang pahlawan nasional, atau upaya propaganda agar dirinya mendapat tempat yang lebih layak di buku sejarah. Sama sekali tidak. Film hanya ingin bercerita tentang seorang perempuan sederhana bernama Likas yang memiliki keinginan untuk mengubah nasib hidupnya sebagai perempuan dalam kungkungan patriarki agar bisa lebih bebas bergerak dan bersuara dengan memegang teguh janji kepada tiga orang yang telah berperan penting dalam mengarahkan jalan hidupnya, sang ayah, sang kakak laki-laki, dan sang suami.
Likas (diperankan oleh Atiqah Hasiholan) bertemu dengan Djamin (Vino G. Bastian) di sebuah pertemuan pemuda pada masa pra-kemerdekaan. Djamin terpesona pada pidato bergaya feminisme Likas yang berapi-api, meski sang gadis menyikapi dengan dingin-dingin saja. Selanjutnya bisa tertebak, Likas dan Djamin kemudian jatuh suka dan memutuskan untuk menikah.
Pernikahan mereka tidak berjalan mulus. Bukan karena masalah pribadi, tapi karena kedudukan Djamin sebagai tentara yang mengharuskan mereka untuk kerap terpisah atau berada dalam keadaan genting juga bahaya. Tapi Likas bukan istri biasa. Ia punya prinsip dan sikap. Ia tidak ingin seperti perempuan Karo umumnya pada masa itu yang bersuara lantang, tapi tidak pernah pada sasaran yang tepat. Likas menjadi tandem bagi sang suami dalam menjalankan hidup di kerasnya masa perang.
Likas mungkin tidak akan menjadi sosok yang kuat tanpa ada dukungan dari sang kakak, Njohre (Ernest Samudra), yang semasa Likas kecil (diperankan dengan sangat mencuri perhatian oleh Tissa Biani Azzahra), memberikan gambaran dan pilihan tentang masa depannya sebagai perempuan Karo. Pada saat film menampilkan dialog intim antara Likas dan Jore, secara cerdas dimasukkan inset komikal tapi menohok tentang kelakukan suami dan istri Karo dalam keseharian mereka, dan ini menjadi pencetus akan sikap Likas nantinya.
Dan Likas beruntung memiliki sosok ayah seperti Ngantari Tarigan (Arswendi Nasution) yang senantiasa mendukung Likas yang ingin menjadi guru karena "punya ilmu, punya uang, dan punya murid yang bisa disuruh-suruh," meski mendapat tentangan keras dari sang istri (Jajang C. Noer) dengan konsep berpikir yang lebih tradisional.
Dari sini film mengindikasikan jika Likas akan menjadi sosok besar dengan prestasi gemilang. Dan Likas nantinya memang sosok besar, karena ia merupakan seorang juru kampanye andal, perempuan Karo pertama yang menjadi anggota MPR, aktif di berbagai kegiatan sosial, serta pengusaha tangguh pula. Ternyata semua prestasi Likas hanya menjadi catatan di penghujung film ketimbang dieksplorasi secara detil. Film 3 Nafas Likas justru memilih pendekatan yang lebih personal dan sederhana tentang Likas, seorang perempuan dari kalangan kebanyakan. Seorang perempuan yang memilih untuk bersikap tegas dan berani mengutarakan pendapat guna mendukung kehidupan keluarganya, di tengah kultur yang menginginkan perempuan untuk bersikap sebaliknya.
Diangkat dari buku berjudul Perempuan Tegar dari Sibolangit tulisan Hilda Unu-Senduk, naskah 3 Nafas Likas dikerjakan oleh Titien Wattimena. Ia mengambil cara bercerita melalui tuturan Likas tua (diperankan oleh Tuti Kirana) pada Hilda (Marisa Anita) yang sedang menulis kisah hidup Likas. Melalui perbincangan intim Likas dan Hilda inilah film berjalan melalui serangkaian kilas balik yang membeberkan kenangan Likas seputar kesehariannya sebagai anak, adik, dan juga istri.
Naskah Titien Wattimena patut dipuji bukan karena kelincahannya dalam bercerita. Sama sekali tidak. Selain pemilihan "nafas" ketimbang "napas" yang menjadi kata baku dalam Bahasa Indonesia sebagai bagian judul, naskah kurang berhasil dalam menampilkan alur yang kuat. Kelemahan film biografi yang ingin bercerita banyak hal juga menempel pada naskahnya, sehingga pada beberapa bagian ia terasa melebar dan bisa diringkas. Tapi naskah patut dipuji karena di tengah kisah keseharian Likas yang biasa-biasa saja (jika sebagai pengungsi di tengah hutan, menyempatkan mengajar pula, dan dibombardir pesawat musuh bisa dikategorikan sebagai hidup yang biasa-biasa saja), ia menyimpan banyak semiotik yang begitu subtil, sehingga mungkin sulit untuk diraba oleh kalangan awam.
Pada satu adegan Likas menanyakan keikhlasan Djamin yang ditempatkan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kanada oleh Presiden Soeharto. Djamin dengan gundah menyatakan siap untuk ditugaskan negara ke mana saja dan sebagai apa saja. Tapi ia seorang tentara dan masih merasa jika tugas yang diembannya sudah seharusnya berhubungan dengan ketentaraan atau militerisme. Bisakah ini sebagai gambaran jika Djamin sebenarnya merasa diasingkan oleh negara yang dulu turut diperjuangkan olehnya? Mengingat ia tidak memiliki nama besar yang selayaknya, maka jawabannya bisa saja.
Sebagai film dengan latar perjalanan sejarah Indonesia sebagai negara, banyak sekali catatan penting yang disampaikannya. Tapi alih-alih sebagai pencatat sejarah, 3 Nafas Likas justru ingin memberi komentar kritis tentang situasi negara pada saat itu, yang sayangnya disampaikan dengan halus, ketimbang tegas dan lantang, sebagaimana yang menjadi sikap Likas.
Film bukannya tidak tergoda untuk bermanis-manis dalam percintaan. Adegan surat-menyurat antara Djamin dan Likas tidak kalah menggugah dari rangkaian tulisan Hayati dan Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013) atau kebersamaan di masa tua yang manis ala Habibie & Ainun (2012). Hanya saja, ketimbang mengulang formula yang sama, 3 Nafas Likas cukup berani untuk memfokuskan diri pada Likas dengan segala kesederhanannya yang terasa sepele. Sekali lagi tentunya dengan catatan jika seorang perempuan menghadang pesawat yang akan lepas landas bisa dikategorikan sebagai biasa-biasa saja.
Pengarahan Rako Prijanto jelas lebih menarik daripada Sang Kiai (2012). Tidak hanya dikerjakan dengan aspek teknis yang gemilang dan bergaya, Rako juga cukup baik dalam mengalirkan arah ceritanya dan menjahit film dengan rangkaian gambar indah memanjakan mata. Tak terlupa asupan adegan penggugah tawa penghindar kemonotonan, yang porsinya begitu besar sehingga tidak yakin jika film komedi Indonesia masa kini bisa menyamai prestasinya.
Dan film didukung oleh barisan pemain yang kuat. Atiqah Hasiholan merupakan salah satu aktor tebaik Indonesia saat ini, dan dalam 3 Nafas Likas membuktikan mengapa ia menjadi salah satu yang terbaik. Atiqah mampu menjadi penggerak roda agar film berjalan dengan sigap dan menguarkan pesona yang sulit untuk ditampik. Vino G. Bastian cukup baik dalam mengimbangi Atiqah, meski masalah artikulasi mungkin menjadi kendala untuk dapat mengerti apa yang sebenarnya tengah dikatakan oleh Djamin Ginting.
Dengan segala kekurangan maupun kelebihannya, 3 Nafas Likas adalah film yang istimewa. Sebuah film yang cukup berani untuk menentang arus dalam aspek tematisnya. Film biografi yang justru memaparkan tentang sosok yang kurang terkenal, tapi membumi serta kuat dalam pesan atau kesan. Dan bukankah kita rindu akan film-film yang mengangkat dengan cita rasa kedaerahan seperti ini?
Rating :