Son of God yang diarahkan oleh Christopher Spencer sebenarnya bukanlah sebuah produk Hollywood yang benar-benar segar. Durasinya yang mencapai 138 menit dihasilkan dengan mengambil bagian penceritaan mengenai kehidupan Jesus dari sebuah miniseri berjudul The Bible yang telah terlebih dahulu ditayangkan di saluran televisi Amerika Serikat, History, pada Maret 2013 dengan beberapa penambahan adegan yang belum pernah ditayangkan sebelumnya. Dan dari sinilah letak masalah terbesar Son of God berasal. Meskipun telah melalui proses penataan cerita sedemikian rupa, serta mungkin beberapa proses teknis untuk membantu peningkatan kualitas gambar film dari sebagai presentasi sebuah miniseri di televisi menjadi sebuah sajian penceritaan layar lebar, Son of God tetap terasa sebagai sebuah tayangan berkualitas penceritaan televisi: narasi penceritaan berjalan terlalu lamban sekaligus cenderung bertele-tele dalam penyampaiannya.
Yes. It’s one of the world’s most famous stories in the history of humankind. Dilahirkan oleh Mary (Leila Mimmack) di Bethlehem dan diramalkan akan menjadi pemimpin bagi bangsa Yahudi, Jesus (Diogo Morgado) memulai perjalanannya ke Galilee untuk merekrut para pengikutnya dalam menyebarkan ajaran Allah. Melalui pengajarannya yang bijaksana serta berbagai mukjizat yang ia tunjukkan, secara perlahan, Jesus berhasil mengumpulkan para umatnya dalam jumlah yang begitu besar dan menyebutnya sebagai Sang Juru Selamat Manusia. Tentu saja, kehadirannya yang begitu mencuri perhatian menimbulkan rasa ketidaksukaan dari beberapa pihak. Para pemimpin agama kaum Yahudi yang disebut dengan Pharisees bahkan menyebut ajaran Jesus sebagai sebuah tindakan penghinaan bagi kepercayaan mereka. Sebuah kecaman yang tidak lantas membuat Jesus menyerah dan mundur begitu saja.
Meskipun begitu, salah satu pengikut Jesus yang dekat dengan dirinya, Judas Iscariot (Joe Wredden), melihat rasa tidak kesukaan para Pharisees kepada Jesus sebagai sebuah peluang keuntungan pribadi bagi dirinya. Ia akhirnya menerima tawaran para Pharisees untuk membantu mereka dalam menangkap Jesus. Malam menjelang pelaksanaan Paskah, Jesus mengumpulkan para pengikutnya untuk makan malam bersama dan mengungkapkan bahwa makan malam tersebut akan menjadi makan malam terakhir bagi mereka bersama dan bahwa salah satu dari pengikutnya akan melakukan pengkhianatan. Beberapa saat kemudian, di Garden of Gethsemane, Judas mengungkapkan pengkhianatannya kepada Jesus. Jesus kemudian ditangkap oleh para Pharisees dengan tuduhan pemfitnahan terhadap agama.
Mungkin ada baiknya untuk tidak mengharapkan sajian sekelas The Last Temptation of Christ (1988) arahan Martin Scorsese atau bahkan film arahan Mel Gibson, The Passion of the Christ (2004), ketika menyaksikan Son of God. Berbeda dengan kedua film tersebut, Son of God terasa sebagai sebuah penterjemahan yang cukup membosankan mengenai kehidupan Jesus. Naskah cerita yang dikerjakan oleh Richard Bedser, Christopher Spencer, Colin Swash dan Nic Young sama sekali tidak berdaya untuk memberikan sisi penceritaan yang lebih menarik bagi sebuah kisah yang telah begitu familiar bagi hampir seluruh umat manusia yang ada di muka Bumi tersebut. Tentu, jalan penceritaan film ini memang dilandaskan seutuhnya pada apa yang tertulis pada kitab suci. Namun dengan pendekatan yang lemah, Son of God justru terdengar sebagai sebuah sesi ceramah yang begitu membosankan.
Kualitas pengarahan yang diberikan oleh Christopher Spencer juga tidak banyak membantu untuk dapat menjadikan alur maupun ritme penceritaan Son of God tampil lebih baik lagi. Meskipun telah melalui proses penataan cerita untuk menonjolkan kisah hidup Jesus, ritme penceritaan yang berjalan sederhana justru semakin menekankan bahwa banyak bagian penceritaan Son of God yang terasa kurang begitu esensial dan dapat dihilangkan guna menghemat durasi penceritaan. Pengarahan Spencer terhadap departemen akting dan tata produksinya juga tergolong lemah. Lihat saja bagaimana aktor Diogo Morgado yang memerankan karakter Jesus terlihat begitu datar dalam setiap pelafalan dialog atau pemunculan emosi dari setiap adegan yang ia perankan. Sama sekali tidak ada kualitas yang menonjol dalam penampilan akting para pemeran film ini. Juga sama halnya dengan kualitas tata produksi yang berpenampilan seadanya sebagai sebuah film yang dimaksudkan untuk ditayangkan di layar lebar.
Terlepas dari niat suci untuk membawa kembali penonton pada perjalanan dan perjuangan hidup yang dijalani oleh Jesus, Son of God sayangnya sama sekali tidak dapat berbicara banyak. Sumber penceritaannya yang diambil dari bagian kisah mengenai Jesus dalam sebuah miniseri televisi tetap saja menghadirkan atmosfer penceritaan a la serial televisi yang tidak cukup padat untuk kemudian dihadirkan di layar lebar. Tidak hanya dari sisi penulisan naskah, arahan Christopher Spencer juga banyak mempengaruhi kualitas departemen akting dan tata produksi film yang terlihat begitu medioker. Dengan pengemasan cerita dan visual yang lebih kuat, Son of God mungkin akan mampu tampil bersaing dengan deretan film lain berkisah sama namun berkualitas lebih cemerlang yang telah dirilis sebelumnya. Sayang hal tersebut tidak terjadi yang kemudian menjadikan film ini hanyalah sebuah pengisahan kehidupan Jesus yang datar dan jauh dari kesan menarik.
Rating :