Sebelum akhirnya film ini diarahkan oleh Ang Lee dengan naskah cerita yang diadaptasi oleh David Magee (Miss Pettigrew Lives for a Day, 2008) dari novel berjudul sama karya penulis asal Kanada, Yann Martel, Life of Pi telah melalui begitu banyak proses pengembangan semenjak hak adaptasi novel tersebut dibeli oleh Fox 2000 Pictures pada tahun 2003. Tercatat, nama-nama sutradara seperti M. Night Shyamalan, Alfonso Cuarón hingga Jean-Pierre Jeunet pernah dihubungkan dengan proyek pembuatan film ini sebelum akhirnya mengundurkan diri akibat sulitnya untuk menggambarkan perjalanan spiritual yang dialami sang karakter utama dalam jalan cerita Life of Pi. Baru pada tahun 2009-lah, Ang Lee akhirnya mengambil alih proses pembuatan Life of Pi, dan – meskipun proses produksi sempat tertunda pada tahun 2010 akibat bujet pembuatan yang dinilai terlalu tinggi – akhirnya benar-benar memulai proses produksi Life of Pi pada awal tahun 2011.
Life of Pi berkisah mengenai seorang anak pemilik kebun binatang bernama Piscine Molitor Patel atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Pi (Suraj Sharma) yang berasal dari India. Atas tuntutan ekonomi, keluarganya lalu memutuskan untuk melakukan migrasi ke Kanada dengan membawa seluruh hewan yang ada di kebun binatang mereka untuk kemudian dijual disana. Sayang, perjalanan yang dilakukan Pi dan keluarganya dengan menggunakan sebuah kapal barang asal Jepang berakhir tragis setelah kapal tersebut tenggelam dihantam badai dan kemudian hanya menyisakan Pi bersama dengan seekor hiena, orang utan, zebra serta seekor harimau Benggala bernama Richard Parker yang menyelamatkan diri mereka dengan menggunakan sebuah perahu penyelamat. Pi pun akhirnya memulai perjalanannya selama 227 hari terapung di lautan luas dan berusaha mempertahankan hidupnya dari bahaya yang selalu mengintainya setiap saat.
Pertama-tama… mari memberi pujian yang sedalam-dalamnya bagi trio sutradara Ang Lee, sinematografer Claudio Miranda dan penata musik Mychael Danna yang berhasil menyatukan visi mereka tentang arti sebuah perjalanan spiritual dan kemudian menterjemahkannya melalui penampilan audio visual yang sangat, sangat, sangat indah. Ingat bagaimana James Cameron mampu mengisi kekosongan jalan cerita Avatar (2009) dengan memanfaatkan teknologi 3D secara efektif? Lee juga melakukan hal yang sama dengan Life of Pi – terlepas dari fakta bahwa film ini memiliki struktur cerita yang lebih kompleks daripada Avatar. Bahkan, pada kebanyakan bagian ceritanya, Lee mampu mengeksplorasi kekuatan performa teknologi 3D tersebut lebih baik daripada Cameron.
Tidak seperti kebanyakan pemanfaatan teknologi 3D yang banyak dihadirkan oleh film-film Hollywood belakangan, Lee memanfaatkan teknologi visual tersebut bukan untuk mengundang penonton agar dapat lebih merasakan pengalaman fisik mengenai bagaimana terlibat dalam jalan cerita yang ia hantarkan. Teknologi 3D dalam Life of Pi justru digunakan sebagai jembatan bagi penonton untuk mampu merasakan kekuatan emosional yang ada di dalam jalan cerita Life of Pi yang kemudian membawa penonton turut larut ke dalam perjalanan spiritual yang dialami oleh sang karakter utama. Life of Pi adalah sebuah contoh lain bagaimana tampilan keindahan visual sebuah film dapat memiliki kekuatan yang begitu dahsyat dalam membuai emosi penontonnya.
Yang membawa kita pada kasus berikutnya… bagaimana jalan cerita Life of Pi jika dihadirkan tanpa segala kemewahan tampilan visualnya? Tidak buruk, sebenarnya, namun jelas tidak akan memiliki kekuatan yang sama untuk membuat penontonnya bertahan mengikuti 127 menit durasi film ini. Life of Pi dibuka dengan perkenalan mengenai siapa sosok karakter Pi dan keluarganya, yang dilanjutkan dengan kisah kehidupannya semasa sekolah, awal ketertarikannya dengan berbagai kepercayaan relijius, kisah asmaranya – yang sebenarnya sama sekali tidak memiliki esensi penting untuk dihadirkan hingga akhirnya perjalanan terakhir yang dilakukan karakter Pi bersama keluarganya. Bagian awal pengisahan Life of Pi secara gamblang membutuhkan teknik penceritaan yang handal – dan Lee mampu melakukannya dengan baik. Namun cerita sesudahnya, kisah dimana karakter Pi digambarkan berjuang untuk kehidupannya di atas lautan samudera, Life of Pi secara perlahan mulai terbentuk menjadi sebuah susunan gambar indah yang mempesona yang kadang hadir tanpa kemampuan penceritaan apapun selain untuk menarik (baca: mempertahankan) perhatian penontonnya.
Tentu… pada beberapa saat gambar-gambar indah itu terasa begitu mengikat perhatian. Namun, pada banyak bagian berikutnya, perjuangan hidup karakter Pi di atas lautan luas terasa bagai sebuah kisah yang tak ada ujung dan cenderung bergerak datar sebelum akhirnya Lee memutuskan untuk mengakhiri perjalanan karakter utama ceritanya. Layaknya sebuah perjalanan panjang menembus sebuah wilayah yang dipenuhi dengan pepohonan rindang yang menyejukkan mata, penonton akan terbuai dengan kesejukan dan keindahan pemandangan yang dihadirkan – serta kemungkinan besar mengalami pengalaman spiritual dan mensyukuri atas nikmat keindahan tersebut. Pun begitu, ketika perjalanan mulai terasa berjalan monoton serta tanpa kegiatan yang menarik, pepohonan rindang yang menyejukkan tadi mulai terasa menjemukan dan kurang berarti. Penggambaran Lee terhadap perjalanan karakter Pi di atas lautan kurang lebih sama dengan ilustrasi tersebut.
Bagian yang paling menarik dari Life of Pi, selain penampilan visualnya yang begitu eksotis, adalah pemilihan ending kisah yang menawarkan kesempatan pada penonton film ini untuk semacam memilih kisah yang ingin mereka percayai. Review ini tidak akan membahas lebih lanjut mengenai apa kisah yang terdapat dalam ending Life of Pi, namun kisah tersebut jelas akan membuka begitu banyak interpretasi penonton mengenai jalan kehidupan seorang karakter Pi: apakah ia berusaha menyembunyikan segala teror dan kenangan buruk kehidupan yang ia miliki dengan sebuah bagian kehidupan yang dapat ia sebut sebagai petualangan atau penonton dapat menerima berbagai fakta pahit serta mengerikan yang dialami oleh karakter Pi dan menerimanya sebagai sebuah realita kehidupan. Sebuah ending yang begitu kuat – walaupun kehadiran penceritaan pilihan tersebut membuat klimaks cerita yang tadinya telah menguat kembali mengendur dan cenderung melemah.
Berbicara mengenai Tuhan, perjalanan spiritual dan arti dari sebuah kehidupan, Life of Pi jelas adalah sebuah film yang tidak akan mudah ditaklukkan oleh sembarang sutradara. Berbekal kerjasama yang solid dengan tim produksinya, khususnya dengan sinematografer Claudio Miranda dan penata musik Mychael Danna, Ang Lee mampu menjawab tantangan tersebut dengan cukup baik. Beberapa bagian naskah cerita yang ditulis oleh David Magee sebenarnya dapat saja mengalami perampingan untuk mencegah alur cerita menjadi terkesan terlalu bertele-tele. Namun, kelemahan tersebut sepertinya telah begitu tertutupi dengan penampilan visual Life of Pi yang spektakuler. Jelas salah satu film dengan kualitas paling istimewa di sepanjang tahun ini.
Rating :