Ketika berhubungan dengan film-film yang dirilis pada masa musim panas, Hollywood tahu bahwa mayoritas para penikmat film dunia menginginkan film-film dengan kualitas penceritaan yang sederhana namun dengan pengemasan yang super megah. Film-film yang murni dibuat dengan tujuan hiburan semata. The Avengers – sebuah film yang menempatkan para pahlawan Marvel Comics seperti Captain America, The Black Widow, Iron Man, Hawkeye, Thor dan Hulk berada pada satu jalan penceritaan yang sama – jelas adalah salah satu film musim panas dengan nilai hiburan yang pastinya tidak dapat diragukan lagi. Namun, di bawah pengarahan Joss Whedon (Serenity, 2005), yang bersama dengan Zak Penn (The Incredible Hulk, 2008) juga menulis naskah cerita film ini, The Avengers berhasil tampil lebih dari sekedar sebuah summer movie. Fantastis dalam penampilan, tetapi tetap mampu tampil membumi dengan kisah yang humanis nan memikat.
Jika karakter Loki (Tom Hiddleston) pada Thor (2011) digambarkan hanya sebagai nemesis bagi saudara angkatnya, Thor (Chris Hemsworth), maka pada The Avengers karakter tersebut mendapatkan porsi cerita yang lebih besar dan menjadi karakter antagonis utama dengan menjadi ancaman utama bagi peradaban manusia di muka Bumi. Dikisahkan, agensi mata-mata S.H.I.E.L.D. yang dipimpin oleh Nick Fury (Samuel L. Jackson) sedang bereksperimen dengan Tesseract, sebuah benda asing berbentuk kubus yang diduga menyimpan potensi kekuatan yang begitu besar. Secara tiba-tiba, Tesseract tersebut kemudian bekerja dan membuka portal penghubung antara Bumi dengan dunia Asgard. Terbukanya portal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Loki untuk berkunjung ke Bumi sekaligus merebut Tesseract dan menjadikannya senjata untuk menyerang Thor. Dalam penyerangannya, Loki berhasil menyihir jalan pemikiran beberapa anggota S.H.I.E.L.D., seperti Dr. Erik Selvig (Stellan Skarsgård) dan agen Clint Barton/Hawkeye (Jeremy Renner), untuk memihak kepadanya.
Guna menangani serangan tersebut, Nick Fury kemudian berinsiatif untuk membentuk kembali proyek The Avengers, sebuah proyek dimana S.H.I.E.L.D. menyatukan beberapa orang berkekuatan super untuk melindungi keamanan dunia. Fury kemudian mengumpulkan agen Natasha Romanoff/The Black Widow (Scarlett Johansson), Bruce Banner/Hulk (Mark Ruffalo), Steve Rogers/Captain America (Chris Evans) dan Tony Stark/Iron Man (Robert Downey, Jr.). Jelas, menyatukan beberapa karakter yang memiliki kekuatan (dan ego) hebat bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Fury bersama dengan dua agen kepercayaannya, Phil Coulson (Clark Gregg) dan Maria Hill (Cobie Smulder), mengalami masa-masa yang sulit untuk menyatukan mereka. Apalagi setelah Thor datang dari Asgard dan juga berniat untuk melumpuhkan Loki. Namun, Fury harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan Bumi dari Loki yang telah memulai gerakannya untuk mengambil alih kekuasaan planet ini.
Keputusan untuk menyerahkan kursi kepemimpinan proses produksi The Avengers kepada Joss Whedon mungkin adalah salah keputusan tercerdas yang pernah diambil oleh Marvel Studios. Whedon bukanlah sosok asing bagi Marvel. Merupakan seorang penggemar buku-buku komik, Whedon pernah menulis 24 seri komik Astonishing X-Men untuk Marvel Comics. Kecintaan Whedon yang mendalam terhadap dunia komik itulah yang setidaknya telah memberikan bekal bagi Whedon untuk mengelola jalan cerita The Avengers, sebuah kisah kepahlawanan dengan potensi adegan aksi yang besar namun tetap berhasil menyelipkan pesan-pesan humanis di beberapa bagian ceritanya.
Penulisan Whedon untuk jalan cerita dan dialog setiap karakter yang hadir di The Avengers terasa begitu alami, segar dan cerdas – khas penceritaan dan dialog-dialog Whedon yang biasa ditemukan pada serial televisi Buffy the Vampire Slayer (1997 – 2003) ataupun Dollhouse (2009 – 2010). Yang terutama, The Avengers terasa begitu bebas dari segala hal klise dan bodoh yang biasa ditemukan pada banyak film-film bertema superhero. Beberapa bagian dialog memang tampil sedikit inferior dari adegan-adegan aksi dan menyebabkan ritme penceritaan terasa menurun beberapa kali, namun kelemahan tersebut sama sekali tidak pernah membuat The Avengers menjadi terkesan menjemukan.
Dengan banyaknya karakter superhero yang dihadirkan dalam satu alur cerita, Whedon juga berhasil membagi rata porsi penceritaan bagi setiap karakter. Setiap karakter dihadirkan dengan porsi kepentingan cerita yang merata, walaupun beberapa diantaranya berhasil tampil menonjol. Karakter Tony Stark/Iron Man, Bruce Banner/Hulk dan Natasha Romanoff/The Black Widow seringkali tampil mencuri perhatian lebih ketika karakter mereka hadir dalam sebuah adegan. Pada banyak bagian, hal tersebut disebabkan oleh dialog-dialog yang diberikan sekaligus karakterisasi pada ketiga tokoh tersebut lebih berwarna jika dibandingkan dengan karakter-karakter lainnya. Pada bagian lainnya, kemampuan setiap pemeran untuk menghidupkan karakter yang mereka perankan juga membuat setiap karakter yang hadir di The Avengers terasa lebih hidup.
Berbicara mengenai departemen akting The Avengers, Whedon mendapatkan dukungan yang sangat sempurna dari setiap jajaran pemeran film ini. Nama-nama seperti Robert Downey, Jr., Chris Evans, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Mark Ruffalo, Chris Hemsworth hingga Tom Hiddleston dan Samuel L. Jackson mampu memberikan penampilan terbaik mereka. Akibat karakter mereka yang ‘lebih menonjol’ dibandingkan karakter lainnya, wajar jika kemudian penampilan Downey, Jr., Johansson dan Ruffalo akan lebih banyak mendapatkan perhatian penonton. Khususnya Ruffalo, seorang aktor spesialis karakter drama yang kali ini harus menangani sebuah karakter superhero. Dan nyatanya, Ruffalo mampu menanganinya dengan baik – bahkan lebih baik dari beberapa aktor yang pernah memerankan karakter Bruce Banner/Hulk di layar lebar sebelumnya.
Seperti halnya film-film karya Marvel Studios lainnya, penampilan audio visual The Avengers juga mampu tampil prima. Paduan special effect yang kuat pada penampilan visual dan audio yang menggelegar akan mampu membuat pengalaman penonton dalam menikmati The Avengers terasa maksimal. Tata musik arahan Alan Silvestri juga berhasil masuk dan meningkatkan ketegangan emosi di banyak adegan film. The Avengers juga dirilis dalam format 3D, sebuah format yang sayangnya tidak begitu teraplikasikan dengan baik pada film ini. Tampilan 3D The Avengers memang adalah sebuah hasil konversi. Wajar jika kemudian penampilan 3D The Avengers tidak begitu maksimal dan kurang begitu mampu untuk memberikan nilai lebih pada The Avengers secara keseluruhan.
Jelas adalah sangat menyenangkan untuk menyaksikan sebuah film blockbuster yang masih mau menyempatkan diri untuk membenahi penulisan karakterisasi, cerita dan dialog serta tidak melulu mengutamakan penampilan special effectyang bombastis. Dengan arahan dari Joss Whedon, The Avengers mampu mencapai kualitas penceritaan tersebut: tetap berhasil tampil spektakuler sebagai sebuah film musim panas, namun mampu tampil lebih kuat dengan sisi penceritaan yang lebih tertata. Penulisan serta pengarahan cerita yang kuat dari Whedon tidak hanya membuat The Avengers menjadi film adaptasi Marvel Comics terbaik yang pernah dihasilkan, namun film ini jelas telah meningkatkan standar kualitas film-film bertema superhero secara keseluruhan. Bravo!
Rating :