News


Minggu, 04 Oktober 2015 - 17:24:51 WIB
3
Diposting oleh : Taufiqur Rizal (@TarizSolis) - Dibaca: 2886 kali

Sepintas ditilik dari materi promosi, 3 (Alif Lam Mim) memang tampak seperti epigon lainnya dari The Raid yang konon telah menetapkan standar tinggi untuk genre laga di perfilman Indonesia. Dengan polesan efek khusus jauh dari kata meyakinkan – mengingatkan pada Garuda Superhero – mudah bagi penonton yang tidak tahu menahu mengenai seluk beluk film ini untuk memunculkan cibiran, “apa sih yang bisa ditawarkan oleh 3?.” Lalu kita melihat adanya nama Anggy Umbara (dwilogi Comic 8, Coboy Junior the Movie) di balik kemudi yang memunculkan secercah harapan mengingat fun merupakan nama tengah dari si pembuat film. Setidaknya, jika pada akhirnya hasil memang di bawah pengharapan, 3 masih menawarkan hiburan. Akan tetapi, apakah 3 memang tidak semeyakinkan trailernya yang kata seorang kawan gagal memberi gambaran mengenai isi dari filmnya itu sendiri? Well, jika kamu mempunyai pemikiran demikian dan berencana melewatkannya, your loss then. Karena saya berani mengatakan secara lantang bahwa 3adalah salah satu film terbaik tahun ini. Seriously, you don’t want to miss this one! 
 
Di tahun 2036, Indonesia telah sama sekali berbeda dari Indonesia yang kita kenal sekarang. Dengan adanya revolusi besar-besar sepuluh tahun sebelumnya guna memberantas para pemeluk agama radikal yang dianggap membahayakan stabilitas keamanan negara, secara otomatis ideologi negara pun bergeser. Kaum relijius yang semula berkuasa, kini merasakan pahitnya berada di posisi minoritas. Yang lantas menjadi pertanyaan, “apakah penghancuran kaum radikal berikut agama yang dianutnya merupakan solusi terbaik untuk memberikan perdamaian bagi negeri ini?.” Bagi Alif (Cornelio Sunny), seorang aparat negara, dan rekan-rekan kerjanya mungkin jawaban paling masuk akal adalah ‘ya’. Tapi Lam (Abimana Aryasatya), jurnalis berpikiran kritis, tidak melihat hal tersebut sebagai suatu jalan keluar terlebih setelah dia menemukan serangkaian kejanggalan dalam kasus pengeboman di sebuah kafe yang nyaris merenggut nyawa Alif sekaligus menempatkan Mim (Agus Kuncoro) beserta santri-santri di padepokan sebagai tersangka utama. Mencoba menjembatani dua sahabatnya yang saling berseteru mempertahankan kebenarannya masing-masing, Lam malah justru semakin terjerumus ke kubangan intrik lebih besar yang turut mengancam keselamatan keluarganya. 

“Bagaimana jadinya jika Indonesia dalam dua puluh tahun mendatang menjelma sebagai negara liberal yang menistakan agama, khususnya Islam, sehingga menganggapnya sebagai parasit yang harus dimusnahkan keberadaannya?” adalah premis yang membangun3. Terdengar begitu provokatif, berani, ambisius, beresiko sekaligus seksi di saat bersamaan sehingga memunculkan keingintahuan besar terhadap cara si pembuat film mengeksekusinya ke bahasa gambar. Apabila kamu mengikuti jejak karir Anggy Umbara di layar lebar semenjak Mama Cake, maka tentu mengetahui bahwa sang sutradara dikenal dengan karya-karyanya yang cenderung ‘style over substance’ dan adegan-adegan terkemasslow motion pun seolah telah menjadi ciri khas tersendiri bagi Anggy. Jika kamu merisaukan 3 akan dijlentrehkan serupa, silahkan bernafas lega. Karena tak seperti karya-karya Anggy terdahulu, 3 terbilang kokoh dari sisi penceritaan walau gayanya tentu masih sama. Ya, premis menggelegar tersebut berhasil tertuang secara rapi ke naskah yang ditulis keroyokan oleh (ndilalah) tiga penulis skrip untuk kemudian diterjemahkan Anggy secara menawan sehingga menghasilkan sebuah tontonan berlatar dystopia yang tidak saja seru, tetapi juga mencengkram erat emosi dan mempersilahkan penontonnya berkontemplasi. 

Membutuhkan sedikit waktu untuk bisa merasuk secara menyeluruh ke tuturan 3. Tidak lantas tancap gas di menit-menit awal, penonton mungkin akan sedikit mengernyitkan dahi menyimak serangkaian pertarungan yang dihadapi Alif seraya memboyong pertanyaan, “apa sih yang ingin disampaikan oleh si pembuat film? Pertarungan kosong?”. Menampakkan wajah seperti film laga futuritis biasa, hingga titik ini, perlahan-lahan 3 menunjukkan wujud aslinya semenjak kehadiran seorang perempuan misterius bernama Laras (Prisia Nasution) diikuti peristiwa meledaknya kafe yang disinyalir kerjaan penghuni padepokan Al-Ikhlas. Pertanyaan pun seketika terkoreksi menjadi, “apa yang sesungguhnya terjadi di sini?,” yang menjadi bekal bagus guna mengikuti jalinan pengisahan bak puzzle susunan Umbara bersaudara. Keseruan yang semula hanya bersumber dari koreografi laga cantik rancangan Cecep Arif Rahman pun bertambah dengan mencuatnya setumpuk intrik mengikat yang di dalamnya dipenuhi kritik tajam terhadap carut marutnya kondisi sosial politik Indonesia masa kini berikut gambaran seandainya ideologi liberal berkuasa di Indonesia dan petuah-petuah khas Anggy perihal bagaimana semestinya pemeluk agama semestinya menjalani kehidupan sampai-sampai diri ini pun dibuat kagum, “rupanya sineas Indonesia pun bisa menyajikan tuturan yang sedahsyat (dan seberani) ini!.” 

Walau efek khususnya memang terbilang kasar – well, apa yang kamu harapkan dari visual film berbujet minim? – tapi sangat bisa dimaafkan berkat kecakapan Anggy dalam mengejawantahkan premis sinting menjadi tuturan padat berisi namun tetap terjabarkan rapi yang sanggup meminta perhatian penonton, gelaran aksi mengasyikkan, dan lakon jempolan dari jajaran pemainnya. Kualitas keaktoran Abimana Aryasatya dan Agus Kuncoro tidak perlu lagi dipertanyakan. Keduanya kembali memamerkan akting gemilang di sini dengan Abimana memberi penampilan meyakinkan sebagai seorang jurnalis yang kebebasannya menyuarakan kebenaran terepresi oleh sistem sedangkan Agus Kuncoro memberi percampuran sempurna antara berwibawa, dingin, dan misterius. Selain mereka, 3juga diperkuat oleh performa badass dari Cornelio Sunny yang mungkin akan membuatnya diburu oleh para produser untuk membintangi film-film laga paska 3, Prisia Nasution yang tangguh sekaligus rapuh, dan last but not least, Tanta Ginting yang hanya muncul sekejap dalam sebuah peran mengejutkan namun begitu membekas di ingatan.


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.