News


Minggu, 01 Februari 2015 - 11:12:05 WIB
Project Almanac
Diposting oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 3796 kali

Masih ingat dengan Chronicle (2012)? Film arahan Josh Trank yang berhasil meraih sukses besar-besaran – baik secara kritikal maupun secara komersial – tersebut berkisah mengenai tiga orang pemuda yang secara tidak sengaja menemukan sebuah kekuatan aneh yang kemudian mulai mengubah kehidupan serta ikatan persahabatan diantara mereka. Project Almanac, disengaja atau tidak, berada dalam alur penceritaan yang hampir serupa dengan Chronicle. Bedanya, jika Chronicle bermain-main dengan kakuatan aneh yang berasal dari luar Bumi maka para karakter di film yang diproduseri oleh Michael Bay ini dikisahkan bermain api dengan waktu. Mesin waktu, untuk tepatnya.

Selain memiliki konsep penceritaan yang hampir serupa, Project Almanac juga memiliki konsep produksi yang tidak jauh berbeda dari Chronicle. Project Almanac merupakan film layar lebar perdana yang diarahkan oleh sutradara muda, Dean Israelite, yang mengarahkan naskah cerita layar lebar perdana dari duo Jason Harry Pagan dan Andrew Deutschman. Jajaran departemen akting film ini juga diisi oleh wajah-wajah muda yang jelas masih jauh dari kesan familiar bagi banyak penikmat film dunia. Sayangnya, dari ukuran talenta, tak satupun dari nama-nama tersebut memiliki kekuatan yang cukup untuk membawa kualitas Project Almanac berada di atas atau bahkan menyamai Chronicle. Hal inilah yang menyebabkan Project Almanac secara keseluruhan masih terasa begitu mentah meskipun memiliki konsep yang cukup menarik.

Permasalahan pertama film ini jelas berada pada naskah cerita. Project Almanac memaparkan kisah persahabatan antara tiga pemuda – yang nantinya akan berkembang dengan tambahan adik dan gadis yang ditaksir oleh salah seorang karakter – yang digambarkan sebagai sosok-sosok pemuda cerdas yang kemudian berhasil mengembangkan dan membangun konsep mesin waktu yang telah mereka temukan secara tidak sengaja. Film ini dimulai dengan ritme penceritaan yang (cukup) lamban dalam mengenalkan setiap karakter dan berbagai permasalahan dalam kehidupan mereka. Paruh kedua film, dimana para karakter berhasil membangun mesin waktu dan menggunakannya, jelas adalah letak kehidupan utama bagi film ini. Di bagian inilah Project Almanac terasa begitu cerdas, menegangkan sekaligus menyenangkan.

Sayang hal tersebut tidak berlangsung lama. Di akhir paruh kedua, ketika naskah cerita mulai membenturkan para karakter dengan konsekuensi dari permainan waktu yang mereka bentuk, naskah cerita film mulai terasa berputar-putar, tidak mengerti bagaimana memberikan penjelasan yang akurat mengenai “konsep konsekuensi” yang telah dilemparkan, tidak tahu bagaimana arah yang tepat untuk membawa dan menyelesaikan permasalahan tersebut untuk akhirnya memberikan sebuah ending cerita yang benar-benar tidak memuaskan.

Pengarahan yang diberikan oleh Dean Israelite sebenarnya tidak dapat digolongkan sebagai sebuah pengarahan yang sangat lemah. Namun Israelite jelas tidak memberikan kontribusi yang cukup untuk mengarahkan jalan cerita maupun deretan pengisi departemen aktingnya untuk memberikan penampilan yang lebih kuat. Oh. Dan tahukan Anda kalau film ini juga dihadirkan dalam konsep found footage? Jika Anda merasa terganggu dengan konsep tersebut maka teknik found footage yang dihadirkan film ini bahkan akan mengganggu Anda lima kali lebih banyak. Penggunaan found footage dalam film yang sempat diberi judul Welcome to Yesterday ini seringkali terasa hanya sebagai gimmick agar para pembuatnya mampu meloloskan beberapa plothole yang hadir dalam naskah cerita film. Tricky namun tidak cukup cerdas untuk menjadikannya berfungsi secara benar bagi kualitas film secara keseluruhan.

Yang juga tidak cukup membantu kualitas Project Almanac adalah keberadaan karakter-karakter dengan kepribadian monoton yang dihadirkan di sepanjang film. Karakter-karakter ini digambarkan sebagai sosok-sosok cerdas yang memiliki kemampuan untuk berkreasi dan menciptakan banyak hal. Namun, berdasarkan berbagai tindakan yang mereka tampilkan di sepanjang film, adalah sangat sulit untuk meyakini bahwa mereka lebih cerdas daripada karakter-karakter yang ada dalam trilogi The Hangover (2009 – 2013). Kelemahan ini masih dipersulit dengan kemampuan para pengisi jajaran departemen akting film yang masih dapat dikatakan seadanya – jika tidak mau disebut mengecewakan. Bahkan chemistry antara pemeran seringkali terasa hambar untuk dapat meyakini bahwa karakter-karakter yang mereka perankan adalah para sahabat, bersaudara atau bahkan terlibat jalinan cinta. Medioker.


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.