News


Sabtu, 22 November 2014 - 17:45:52 WIB
Interstellar
Diposting oleh : Taufiqur Rizal (@TarizSolis) - Dibaca: 2425 kali

Bagi sejumlah penggila film, Christopher Nolan adalah ‘dewa’ yang sepatutnya dipuja-puja. Usai menciptakan sederet twist cerdas pada karya-karya di awal karir, perlakuannya dalam memanusiawikan Batman serta menyisipkan teori mimpi ke penceritaan di Inception yang memicu perdebatan sampai detik ini, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika setiap ciptaan anyar dari sutradara yang angkat nama lewat Memento ini begitu diantisipasi kemunculannya. Maka ketika trilogi si kelelawar hitam tutup buku, kepenasaran berbalut antusiasme untuk mengetahui langkah Nolan berikutnya pun menyeruak. Terlebih, sekali ini Nolan kembali pada cerita orisinal (bukan franchise) yang dikerjakannya bareng sang adik, Jonathan Nolan, dan berhubungan dengan ruang antariksa. Satu pertanyaan yang lantas membarengi proyek ini adalah kecerdasan – atau katakanlah, kegilaan – macam apa lagi yang akan diperbuatnya? Siapapun tentu berharap, film terbaru Nolan ini akan melampaui, atau setidaknya menyamai, kualitas yang ditorehkan oleh Inception yang dianggap sebagai sebuah mahakarya. 
 
Karya terbaru Nolan yang bertajuk Interstellar ini membawa kita ke masa depan yang tak terlalu jauh saat bumi telah menjelma sebagai sebuah planet yang memberi ketidaknyamanan pada penghuninya dalam bentuk badai debu berkepanjangan maupun krisis pangan. Manusia pun mau tak mau menjalani profesi sebagai petani sebagai upaya menyuplai kebutuhan hidup yang kian mengetat. Profesi lain tak terlampau dibutuhkan sehingga menyulitkan Cooper (Matthew McConaughey), mantan calon pilot NASA, yang pada dasarnya hanya menaruh sedikit minat pada berladang. Akan tetapi, bagaimanapun inilah yang dijalaninya mengingat Cooper kudu menghidupi keluarganya yang terdiri dari dua anaknya, Tom (Timothee Chalamet) dan Murph (Mackenzie Foy), serta mertua (John Lithgow). Kesabaran Cooper menaruh pengharapan terhadap terwujudnya mimpi lantas terjawab saat sebuah keganjilan menyeretnya untuk terlibat dalam misi Lazarus yang dikreasi NASA. Ditemani oleh Amelia (Anne Hathaway), Romilly (David Gyasi), dan Doyle (Wes Bentley), Cooper pun mengangkasa untuk mencari tempat tinggal baru bagi umat manusia dan meninggalkan keluarganya di bumi dalam ketidakpastian. Sebuah keputusan yang membentuk amarah membara pada diri Murph. 

Apabila berbincang soal karya Nolan, maka nyaris bisa dipastikan bahwa akan ada dua kubu yang terbentuk, ‘love it’ atau ‘hate it’. Interstellar pun bukanlah satu pengecualian. Seperti halnya sudah-sudah, cecapan rasa yang tertinggal usai menyaksikan Interstellardapat berbeda antara satu individu dengan lain tergantung pada pengalaman yang dirasakan selama kurang lebih 169 menit. Perkara semacam ini bisa muncul lantaran di garapan teranyarnya ini si pembuat film membubuhkan lebih banyak drama rumah tangga sekaligus menjejali dialog yang diutarakan tokoh dengan beragam istilah Fisika yang rumit. Jika penonton mengharapkan sajian yang sekadar berisi suka cita, well... hasilnya tak akan bagus. Apalagi demi memberi ruang untuk menciptakan kedekatan penonton dengan karakter di film Nolan menghabiskan paruh awal dengan cara tutur yang terbilang lamban. Kita diajak terlebih dahulu untuk berkenalan bersama Cooper dan Murph yang nantinya difungsikan sebagai motor utama penggerak cerita sebelum melayang ke luar angkasa. Kedekatan ayah-anak ini menjadi kunci kehidupan dari Interstellar

Berbeda halnya apabila tujuan utamamu menyimak Interstellar adalah memperoleh pengalaman menonton mengagumkan. Walau tatarannya tak sampai semegah Gravity atau2001: Space Odyssey (diakui Nolan sebagai salah satu sumber inspirasinya), namun visual yang dipertunjukkan lewat Interstellar tetap terlihat memesona. Autentisitasnya membuatmu seolah-olah menjadi bagian dari salah satu kru yang terlibat dalam misi Lazarus – terseret dalam perjalanan yang menggetarkan sekaligus mencemaskan. Harus diakui, sisi teknis adalah keunggulan terbesar yang dimiliki oleh Interstellar. Memertemukan efek khusus mewah bersama sinematografi cantik dan editing cermat sehingga penonton dapat memperoleh gambaran seolah-olah nyata dari bumi di masa mendatang yang tak lagi bersahabat, planet-planet asing penuh misteri, sekaligus ruang angkasa (termasuk wormhole) yang boleh jadi tidak akan bisa saksikan secara langsung. Kehebatan ini ditunjang pula oleh skoring musik dari komposer langganan Nolan, Hans Zimmer, yang menghentak pula menghanyutkan, memberi hembusan nafas kepada film sehingga menimbulkan kesan menggigit.
 
Jika penjabaran beragam teori imliah yang meliputi fenomena kosmos, gravitasi, relativitas, dan lain-lain (yang terlalu sulit untuk diingat) membuatmu mengerutkan dahi, utamanya jika dulu kamu membenci mata pelajaran Fisika, tak perlu risau bakal tertatih-tatih mengikuti guliran kisahnya karena inti dari Interstellar adalah satu, cinta. Bukan kisah romansa picisan yang diajukan, melainkan cinta kasih dari seorang ayah kepada anak perempuannya. Satu hal inilah yang bisa kamu jumpai di Interstellar tetapi malu-malu kucing memperlihatkan wujudnya di sederet karya Nolan sebelumnya. Nolan seolah memberikan alternatif; ketika otak gagal dibuat terangsang oleh plot njelimetnya, setidaknya hati dapat dirangsang oleh kehangatan kisahnya. Ini ditingkahi oleh akting hidup dari Matthew McConaughey, Anne Hathaway, serta Jessica Chastain, sehingga beberapa momen menyentuh pun berhasil muncul. Walau, pada akhirnya, Interstellar bukanlah karya terbaik dari seorang Christopher Nolan – tidak cukup kuat untuk melebihi kebesaran Inception – akan tetapi ini adalah sebuah hidangan science fiction bernilai di atas rata-rata yang akan mempertajam keyakinan publik bahwa Nolan memanglah sutradara hebat. 


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.