Feature


Rabu, 09 November 2016 - 12:15:38 WIB
Interview: Riri Riza dan Cut Mini Berbagi Cerita Soal 'Athirah' dan Perfilman Indonesia
Diposting oleh : Taufiqur Rizal (@TarizSolis) - Dibaca: 5407 kali

Hadir di Tokyo International Film Festival (TIFF/TIFFJP) untuk mempresentasikan Athirah (Emma’/Mother; international title) dalam segmen Crosscut Asia: Colorful Indonesia di Tokyo International Film Festival (TIFF/TIFFJP) ke-29 tahun ini, sutradara Riri Riza bersama Cut Mini, pemeran Athirah menyempatkan sebuah wawancara eksklusif selama 30 menit sebelum penayangan publik untuk filmnya.

Bagi Riri sendiri, ini bukan kali pertama ia terlibat di TIFF. Filmnya tahun 2012, Atambua 39°Celcius sebelumnya sudah pernah masuk ke line up kompetisi utama TIFF, berikut juga mengisi segmen spesial Indonesian Express di tahun yang sama bersama Garin Nugroho dan Edwin dengan film-film seperti Laskar Pelangi (Rainbow Troops) dan sekuelnya Sang Pemimpi.  

Tak hanya bercerita soal proses pembuatan filmnya bersama Cut Mini, Riri juga membahas visinya sebagai seorang filmmaker yang meski berada di ranah yang disebutnya subkultur dengan film-film yang punya pencapaian artistik lebih, tapi secara umum dikenal sebagai hitmaker director di industri perfilman kita lewat beberapa filmnya, dari Ada Apa Dengan Cinta? hingga Laskar Pelangi.

Q: Dulu Atambua 39°Celcius masuk ke dalam line up kompetisi utama di Tokyo International Film Festival (TIFF). Apakah pernah terpikirkan kalau Athirah harusnya di-submit ke kompetisi ketimbang menjadi line up Crosscut Asia yang bukan kategori kompetisi buat tahun ini?

A: Sebenarnya semua prosedurnya sama. Kala kita mempersiapkan Atambua 39° Celcius, saya mendapat info submission TIFF, lantas kita kirimkan. Ternyata ada jawaban dari programmer-nya, tapi ada persayaratan bahwa filmnya harus menjadi International Premiere dan tidak boleh ditayangkan dulu di tempat lain. Athirah adalah kasus berbeda karena filmnya sudah lebih dulu ditayangkan di Vancouver. Mungkin itu yang menjadi pertimbangannya, karena mereka punya kriteria-kriteria tertentu sebagai line up kompetisi utamanya. Tapi tahun ini tetap khusus karena ada fokus terhadap Indonesia. Dan lagi, spirit Atambua 39C sebagai sebuah film memang berbeda.

Q: Dari novelnya, Athirah sebenarnya memiliki banyak elemen-elemen yang sama dengan trend film Indonesia belakangan ini. Ada nilai-nilai ke-Islam-an seperti poligami dibalik wujudnya sebagai sebuah (lagi-lagi) biopik. Apa yang membuat Anda akhirnya memutuskan untuk membuat Athirah dan apakah ada inovasi yang dilakukan sewaktu membuatnya agar jadi sesuatu yang beda saat harus bicara (lagi-lagi) tentang hal yang sama?

A: Sebenarnya yang pasti setiap pembuat film sudah punya semacam jalur intuisi tentang cerita apa yang ingin disampaikan. Saya tidak pernah mengkotak-kotakkan saya sutradara seperti apa dan bagaimana saya harus mengangkat sebuah cerita ke film. Saya sudah lama bekerja di Makassar skitar 6 tahun belakangan untuk melatih para filmmaker muda di sana yang membuat saya semakin berinteraksi, bukan hanya film, tapi juga dunia kebudayaan lain termasuk membantu mereka membuat Festival Sastra Tahunan di sana. Jadi Athirah ini adalah sebuah perjodohan yang organik karena saya juga kebetulan lahir di Makassar, punya darah Bugis dari orangtua saya dan cerita ini adalah cerita yang dekat sekali dengan budaya Bugis Makassar.

Saya tidak terlalu memikirkan inovasinya dalam kaitan harus punya terobosan seperti apa. Saya pikir semua film akan sangat tergantung dari tema dan ceritanya sendiri. Ceritanya sendiri yang membuat saya membuat pendekatan stylistic, teknis dan sebagainya. Saya tidak bisa mencari-cari pola film saya harus seperti apa. Dari ceritanyalah muncul keputusan-keputusan teknis dan pendekatan lainnya. Itu cara membuat film yang lebih menarik dan saya rasa lebih tepat buat saya.

Q: Ada sebagian penonton terutama dari kalangan pemirsa awam yang mempertanyakan pilihan ending Athirah yang terasa tak biasa bagi mereka. Bisa ceritakan sedikit mengenai pilihan ini?

A: Kita sudah punya karakter dari awal, perkembangannya seperti apa, baik Ucu (Jusuf Kalla kecil yang diperankan Christoffer Nelwan) dan Athirah, berikut juga karakter-karakter lain semuanya punya konsekuensi. Di titik tertentu dari cerita, Emma’ sudah menemukan kemenangannya di tingkat acceptance, siapa saya, hidup di keluarga seperti apa dan sudah bisa tertawa kembali bersama keluarganya di meja makan. Kita kembali ke tembang yang dinyanyikan ibunya Athirah yang sebenarnya punya makna bahwa kita tidak pernah boleh berhenti dalam hidup. Hidup itu harus dijalankan seperti pohon yang melahirkan bunga-bunga baru setiap saat. Ia boleh habis, dimakan oleh musim panas yang menghabiskan daun-daunnya, tapi pada suatu saat ia akan tumbuh lagi.

Q: Anda banyak menggunakan simbol-simbol dalam penceritaan Athirah secara keseluruhan. Apakah Anda yakin penonton di Indonesia sudah siap buat menyerap itu?

A: Saya yakin tidak semua orang bisa menangkap makna yang sama dari sebuah film. Ada latar belakang dan budaya yang menentukan. Setiap penonton punya rezeki berbeda-beda dalam menangkap makna film. Cuma begini, sebagai pembuat film, saya memahami dan meyakini bahwa sebuah film harus memiliki tulang belakang yang kuat. Dan tulang belakangnya adalah plot. Dalam Athirah, plotnya adalah seorang perempuan yang hidup bersama keluarganya, kemudian keluarganya menghadapi masalah; suaminya menikah lagi, dan ada cobaan kedua, ketiga hingga selesai. Saya kira sisi ini bisa ditangkap oleh semua orang.

Kalau soal atmosfer, irama, itu adalah keberuntungan saya sebagai pembuat film dan keberuntungan pemirsa yang juga bisa merasakan seperti apa yang saya rasakan. Sebagai pembuat film kita harus punya luxury itu, dalam artian membuat film dengan keyakinan kita saat kita mengerjakannya. Ketika saya menemukan cerita Athirah saya sudah punya bayangan seperti apa saya akan mengerjakannya, ke arah mana yang saya percaya, berbeda lagi dengan saat saya membuat AADC?2. Dan kita juga tahu bahwa dengan pendekatannya, penonton Athirah bukanlah penonton AADC?2. Tapi tetap ada penonton yang bisa menikmati drama, irama dan pacing berbeda sebagai sebuah pengalaman menonton seperti dibukakan sebuah ruang baru dalam menikmatinya. Banyak sekali respon bagus yang saya dapatkan bukan dari kritikus ternama tapi lebih dari blogger atau teman-teman saya sendiri, yang punya reaksi dan kedekatan personal pada Athirah yang mengingatkan mereka pada keluarga mereka, apakah ibu, nenek dan sebagainya.

Q: Christoffer Nelwan bermain matang sekali sebagai Ucu. Bisa cerita proses pendalamannya seperti apa?

A: Yang paling dibutuhkan untuk menghasilkan kolaborasi yang baik sebenarnya waktu, dari memilih cast hingga ke prosesnya. Christoffer Nelwan sebenarnya bukan aktor baru buat saya. Ia sudah pernah main di musikal Laskar Pelangi tahun 2010 sebagai Ikal. Penampilannya sangat berkesan bagi saya dan saya tahu suatu waktu ia akan kembali ke film saya, tapi ternyata baru 7 tahun kemudian setelah lulus SMA dan menimba pendidikan di Belanda. Christoffer sendiri bukanlah aktor baru. Ia sudah pernah main di film Raditya Dika, disutradarai oleh Hanung bahkan Garin Nugroho. Disiplinnya baik dan ia punya training ground yang panjang dari proses-proses itu. Begitupun, memang awal-awalnya sulit sekali membangun interaksinya dengan Mini (Cut Mini) secara Christoffer adalah tipikal anak kota dengan pendidikan baik yang memiliki aspirasi tinggi terhadap dirinya sendiri. Ia seringkali dingin pada awalnya, namun akhirnya perlahan-lahan interaksi itu bisa mencair menjadi sesuatu yang bagus.

Q: Cut Mini sempat vakum beberapa saat dan tahun ini muncul dengan tiga film dengan resepsi yang cukup universal. Dalam ketiga film itu, Anda juga harus berinteraksi dengan tiga aktor muda. Bisma Karisma dalam Juara, Christoffer Nelwan dalam Athirah dan Irish Bella dalam Me Vs. Mami. Bicara soal Athirah, seperti apa kira-kira tantangan yang dihadapi dalam prosesnya?

A: (Mini) Seperti yang dikatakan Mas Riri tadi, kita punya waktu yang cukup banyak untuk fokus pada karakter yang saya perankan. Ada dua bulan waktu reading dan belajar satu persatu line yang ada dalam Athirah. Saya merasa tetap punya kekurangan dan harus memanfaatkan waktu itu dengan baik. Mas Riri juga menyiapkan quote untuk berdialek dan saya harus masuk ke sana. Dalam tiap film, ada yang cepat dan ada yang lambat. Semua pemain dan sutradara memiliki energi tersendiri.

Awalnya kita mungkin tidak bisa merasakan langsung kedekatannya namun melalui proses, akhirnya kita bisa mendapatkan itu. Tentang kolaborasi bersama Christoffer, awalnya saya memang agak susah masuk karena ia memang cukup dingin, tapi akhirnya ia mulai terbuka ketika kita sudah pindah ke Makassar. Ada waktu seminggu sebelum kita melakukan syuting di Makassar, dan setelah itu interaksinya bisa mengalir dengan lancar.

Q: Dalam storytelling-nya, Athirah tidak banyak menggunakan dialog. Apakah ada arahan khusus dari Mas Riri selama syuting untuk lebih bermain dengan ekspresi?

A: (Mini) Dari reading sampai masuk ke set, kita sudah tahu blocking-blocking-nya di mana, karena Riri selalu memberikan gambaran secara detil sejak kita melakukan reading. Pemain juga jadi terbiasa untuk membayangkan sesuatu dan begitu saya masuk ke dalam set, saya merasa sudah sangat siap dengan atmosfernya. Dari akting hingga cara berjalan, semuanya punya iramanya sendiri. Riri sudah mengikat kita sejak saat reading sehingga begitu melakukan syuting, kita sudah benar-benar siap.

(Riri) Minimal setiap pemain punya pengertian besar secara objektif dengan karakternya. Kedua adalah objektif sekuensial dari tiap tahapan plot-nya dari pengenalan hingga konflik-konfliknya serta juga set dan kostum. Athirah punya konsep detil termasuk dari warna pakaian yang ditampilkan. Dengan kekuatan itu, kita tidak perlu terlalu banyak menggunakan dialog bahkan ekspresi fisik, tapi cukup dengan tatapan, gestur dibantu bahasa sinema yang lain dari pengaturan set, kamera, musik hingga desain suara. Di situ kita sebenarnya mencoba bermain dalam Athirah.

Q: Terkait dengan perkembangan sinema di Asia Tenggara, apa kira-kira persamaan kita dengan negara-negara lain?

A: Ada banyak persamaannya. Bagi negara-negara Asia Tenggara termasuk kita, film sebenarnya masuk sebagai produk Barat. Semua negara Asia; Filipina, Thailand, Singapura hingga Indonesia ke daerah-daerahnya sudah punya sejarahnya sendiri-sendiri, termasuk sejarah bioskop; dan semuanya merupakan produk asing pada awalnya. Pelan-pelan, mereka berusaha memasukkan tradisi lokal ke dalam film kemudian menemukan bahasa baru. Semua struggle-nya kurang lebih sama, dan tiap negara punya masa-masa keemasannya, seperti kita di tahun 80an atau P. Ramlee di Malaysia. Indonesia sedikit lebih khusus karena Usmar Ismail hanya membentuk wajah sinema kita setahun setelah masa kemerdekaan. Setelah itu film mulai terbentuk sebagai produk komersil.

Terkadang saya sepakat dengan Salim Said bahwa film-film festival  dan dibawa ke luar negeri, dibikin oleh ‘so-called intellectual’ sebenarnya adalah subkultur. Kultur utamanya tetap adalah film komersil yang memang selalu lebih sukses dan dari dulu, terutama Asia, memang seperti itu. Kita harus bisa menerima itu dan jangan inferior bahwa penonton dan pembuat film kita tidak apresiatif. Kita-kita ini adalah subkultur.

Q: Banyak yang bilang salah satu yang kurang dalam film kita adalah regenerasi. Bagaimana menurut Anda?

A: Tidak. Saya merasa regenerasi terjadi. Sekarang saya menjadi yang paling tua di sini. Puluhan tahun yang lalu status saya masih young filmmaker. Sekarang ada Nia Dinata yang juga masih sedikit di bawah saya, ada Ifa (Isfansyah), Kamila (Andini), Mouly (Surya) dan banyak lagi. Tahun ini film pendek kita yang menang di Cannes dibuat oleh sutradara yang baru berumur 23 tahun. Musisi saya dalam Athirah (Juang Manyala) juga baru 23-24 tahun, dan ini terjadi secara natural. Memang jumlahnya tidak akan banyak, tapi ada. Sekali lagi, untuk kami-kami yang menjadi subkultur, itu sudah cukup. Sangat lumayan.

Tentang sistem mentoring, bagi saya ada. Rata-rata astrada saya adalah lulusan sekolah film yang masih 20 tahunan. Saya sudah lima tahunan bekerja di Makassar membuat training perfilman untuk mereka yang baru lulus sekolah film atau datang dari komunitas film. Tahun ini kita melahirkan tiga ide film dengan tiga orang, masing-masing punya sutradara, produser dan penulisnya sendiri-sendiri dan ini datangnya dari Indonesia Timur seperti Palu, Makassar dan Balikpapan bukan dari kota-kota utama seperti Jakarta, Bandung, Jogja dan sebagainya. Dan mereka semua sudah diuji dari sineas-sineas seperti Ifa, Mira (Lesmana), Mouly (Surya), Meiske (Taurisia).

Saya rasa kepedulian terhadap regenerasi ada, dan itu terjadi dengan cukup baik. 5-6 tahun lalu kita tidak punya kekayaan film pendek seperti sekarang, bahkan film layar lebar seperti Gita (Pritagita Arianegara) yang lahir dari astrada 2-3 tahun lalu dan akhirnya membuat Salawaku. Ada mungkin hambatan karena pendidikan formalnya memang tidak terjadi dan pemerintah belum sepenuhnya kreatif menciptakan peluang. Harusnya ada penghargaan khusus untuk sutradara film pertama dalam ruang khusus yang berbeda. Atau juga bagi wartawan-wartawan film. Regenerasi akan terjadi kalau hal-hal ini terbina dengan baik.

Q: Film-film Anda memiliki distinct aesthetic dalam rata-rata film Indonesia. Dalam Athirah, ada akumulasi emosi yang digagas secara lambat; kadang kena, kadang tidak, tapi tetap ada. Begitupun, dalam tingkatan-tingkatan penggolongan yang sama secara umum, film-film Anda selalu lebih bisa diterima penonton. Bahwa dalam dikotomi arthouse dan komersil ternyata sebagian film-film ‘serius’ itu bisa diterima oleh penonton awam. Apakah ada strategi tertentu dalam hal ini?

A: Saya bekerja tidak secara individual, tapi dengan sebuah tim yang juga rata-rata bekerja untuk menghasilkan film yang baik. Saya dan Miles tidak ingin dibandrol atau dilabel sebagai tipe pembuat film tertentu yang seperti apa karena kita juga pencinta film yang menikmati semua jenis film. Saya bisa menonton film-film Tsai Ming-liang, bergaul dengan Lav Diaz, tapi saya juga suka nonton filmnya Quentin Tarantino dan Michael Bay,... nggak Michael Bay juga sih (tertawa), juga film-film komersil Hollywood lainnya.

Saya dan tim saya tidak punya strategi khusus, namun ketika kita memilih cerita, di situ kepekaan kita sebenarnya akan tampak. Keputusan-keputusan seperti membuat AADC2? setelah Pendekar Tongkat Emas, dan kemudian Athirah, misalnya, dari sana, kepekaan itu sebenarnya bisa dibaca.

Pendeknya begini, sebenarnya tidak ada film yang lebih gampang atau lebih sulit seperti yang banyak dikatakan orang-orang. Membuat film komersil yang baik jauh lebih susah ketimbang membuat film artistik, eksperimental, atau bentuk-bentuk self indulgence sejenis. Saya kadang suka terganggu kritikus yang begitu melihat sebuah film yang susah dibaca oleh penonton mereka suka bangga sekali mengatakan itu adalah film bagus. Coba bikin film komersil yang bagus. Coba bikin film komersil yang punya nilai artistik yang baik. Itu sungguh bukan rancangan yang sederhana, dan itu yang dilakukan Hollywood dengan terampil selama bertahun-tahun sehingga mereka bisa menguasai dunia.

Athirah, Riri Riza dan Cut Mini baru saja terpilih sebagai film, sutradara dan aktris terbaik Festival Film Indonesia 2016 yang diselenggarakan tanggal 6 November di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain itu, Athirah juga berjaya di kategori penata busana terbaik untuk Chitra Subiyakto, penata artistik untuk Eros Eflin dan penulisan skenario adaptasi terbaik untuk Riri dan Salman Aristo.

*Terima kasih banyak kepada Daniel Irawan (@danieldokter) untuk wawancara eksklusifnya bersama Riri Riza dan Cut Mini di Tokyo International Film Festival.


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.