Feature


Senin, 24 Februari 2014 - 19:13:05 WIB
Gandhi Fernando Berbincang Tentang The Right One
Diposting oleh : Taufiqur Rizal (@TarizSolis) - Dibaca: 5341 kali

Salah satu film Indonesia yang meramaikan bulan Februari yang manis adalah The Right One. Disutradarai oleh Stephen Odang (Enam), film yang dibintangi Tara Basro dan Gandhi Fernando ini bertutur tentang Jack (Gandhi Fenando), seorang pegawai bank yang sedang merasa terjebak dengan pekerjaan yang menurutnya begitu membosankan, dan Alice (Tara Basro), seorang ahli biologi laut yang dalam kesehariannya justru lebih sering duduk di dalam kantor daripada mengaplikasikan ilmunya di lapangan.

Garisan takdir kemudian mempertemukan dua orang asing tersebut di sebuah bar yang sama. Segera, percakapan dan koneksi antara keduanya langsung terjalin. Mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu sepanjang hari, pergi ke tempat-tempat yang berbeda di seputar Bali dan berbincang tentang kehidupan, cinta, dan rasa frustasi dari dunia pasca-kuliah mereka.

Ditemui di Setiabudi One, Gandhi Fernando yang bertindak selaku pemain merangkap produser di The Right One bercerita panjang lebar kepada Flick Magazine mengenai proses kreatif di balik pembuatan film panjang pertamanya dari mulai tahap pengembangan skenario hingga harapan-harapannya untuk film ini (serta perfilman Indonesia).

Berikut petikan wawancara Flick Magazine bersama Gandhi Fernando: 

Bisa diceritakan bagaimana awal mula dari terciptanya proyek film The Right One ini?

Gue dari tahun 2008 sampai 2012 kan sekolah di Amerika Serikat, sambil kerja di sana. Pada tahun 2009, gue ketemu sama Jonathan Cocco (penulis skenario The Right One) dan dia kasih gue skrip judulnya Together. Gue suka banget tapi gue bilang ke dia, ini masih mentah. Let’s develop it more. Selama kita develop, udah beberapa kali mau masuk produksi di Los Angeles. Akhirnya nggak jadi karena ada banyak kendala di sana sini, dari masalah bujet, lokasi, sampai sutradara. Ya udah, kita keep aja dan gue minta ke dia buat jangan beri skrip ini ke orang lain karena gue masih pengen bikin. Sampai di sini, akhirnya gue kasih skrip ini ke Odang (Stephen Odang, sutradara The Right One).

Sebelum skenario ini, sebenernya gue udah ngasih skenario lain ke Stephen sih. Dia udah suka, cuma gue bilang, budgetnya belum ada. Kita ambil ini aja yang one location. Terus karena ga jadi, si Odang bilang, “Gan, kenapa sih nggak bikin The Right One aja?.” Tapi ya nggak masuk akal juga sih kalau dibuat di Jakarta dalam Bahasa Inggris. Mau dirubah ke Bahasa Indonesia, pernah sempet coba gue tulis 30 halaman hasilnya ga bagus, kaku. Terus ya udah Odang minta pertahanin di Bahasa Inggris aja, tapi bikinnya di Bali. Sementara gue udah lama banget nggak ke Bali, jadi gue ke sana dan lihat-lihat. Terus akhirnya gue telepon Jonathan via Skype dan dia seneng banget settingnya dipindah ke Bali.

Banyak orang yang bertanya-tanya soal pemakaian dialog Bahasa Inggris dalam The Right One. Bisa dijelaskan?

Jadi, visi dari film ini kita bikin dalam Bahasa Inggris adalah karena Bahasa Inggris itu bahasa internasional, bahasa yang paling banyak dimengerti di seluruh dunia. Rencananya dijual ke luar negeri untuk membawa nama Indonesia. Kita pengen nunjukkin, “Ini lho Bali. Ikon nomor satu di Indonesia.” Orang-orang kan kenalnya Bali. Nah, setelah Bali, baru merembet ke daerah-daerah lain di Indonesia. Selama ini kan kebanyakan sineas kita syutingnya di luar negeri (terutama benua Eropa), mempromosikan negara orang lain. Ngapain? Indonesia kan juga bagus. Basically, ini yang mau kita share tidak hanya ke masyarakat Indonesia tetapi juga seluruh dunia. Karena berdasarkan pengalaman gue sendiri dengan teman-teman di Amerika, gue pernah bawain mereka film-film yang gue suka dan ekspresi mereka saat gue kasih lihat, salah satunya Denias, mereka bilang, “Wah, Indonesia ternyata bagus juga ya.”

TRO1

Apa alasan yang mendasari terpilihnya Tara Basro sebagai pemeran utama di The Right One?

Film ini kan udah ditulis lama. Sebelum gue ketemu sama Stephen, gue udah ketemu Jonathan dulu di tahun 2009 dan Jonathan pun udah ngasih izin buat gue untuk main di film skrip bikinan dia ini. Gue juga pengen, kebetulan gue punya sebuah misi rahasia. Misinya apa? Gue belum bisa bocorin. But anyway, karena kita mau jual keluar, kalau kita pakai artis-artis yang terlalu terkenal juga, for what gitu? They have no value di luar negeri. Lagian ribet juga memakai artis terkenal karena banyak ini itu dari ngurus jadwal syuting, nurutin kemauan sponsor, dan sebagainya. Kreativitas sutradara, penulis, dan pemain-pemain lain jadi tertutupi kalau kita pakainya yang terlalu terkenal. Terus, si Odang have a huge crush on Tara Basro back then. Dia pengen banget dia yang main, tapi gue ga tahu siapa dia karena belum nonton Catatan Harian si Boy dan Hi5teria.

Kebetulan, gue ketemu sama Tara Basro pas lagi main di satu judul FTV. Dan akhirnya, gue lihatin dia main, casting on the spot, apalagi si Nadine Alexandra yang awalnya jadi kandidat utama nggak bisa. Pas gue kasih Tara skenarionya, dia semangat banget, “this is so good. I wanna do this!.” Terus gue baca berdua sama dia dan dia ga akting, natural aja dengan kharismanya yang memancar. That’s what we need. We need natural, we don’t need acting. Besok siangnya kita langsung deal dengan dia.  

Bagaimana dengan pemilihan lagu untuk soundtrack dari The Right One?

Soundtracknya, like... Oh man. Awalnya kita mau pakai Raisa, terus sahabat gue yang tinggal Australia bilang pacarnya punya band di sana. Indie band yang genrenya alternative pop rock. Dia ngasih gue satu lagu yang udah master. Itu enak banget. Gue ngasih denger ke Stephen. Trus gue minta ke mereka buat ngirim semua lagu yang udah pernah mereka bikin yang menurut mereka cocok untuk film ini dan dikirim ada berapa belas gitu. Gue ngambil sembilan yang menurut gue paling cocok dan mereka juga bikin yang versi The Right One.

Apakah kamu selalu sependapat dengan Stephen Odang dalam hal apapun?

Pas gue nonton tanpa mereka (Stephen Odang dan kru), gue awalnya nggak setuju dengan color tone yang dia pilih. Warnanya pastel-pastel gitu, kayak Instagram. Akhirnya gue langsung telepon dia, “are you sure about this?”. Karena di otak gue adalah warnanya yang high contrast, yang merah-merah banget, pink-pink banget, atau girly banget. Gue agak kesulitan dengan color tone yang dia pilih. Setelah gue nonton dua tiga kali akhirnya gue ngerasa, actually this is really good. Kerasa beda dari film-film Indonesia lainnya. Yeah again, you need a great director for that vision and thanks, Stephen.

Foto

Adakah film asing (mungkin, Hollywood) yang menjadi inspirasi dalam membuat The Right One?

The Right One itu mirip-mirip kayak Like Crazy. Tahun 2010, gue kenalan sama sutradara namanya Drake Doremus, dia yang bikin Like Crazy. Waktu itu filmnya lagi naik, masuk ke Sundance. Gue ngobrol-ngobrol sama dia dan dia banyak kasih arahan lah tentang proses filmnya dia. Di film itu, dia nggak everything set in stone. Nggak semua dari page 1 sampai 90 itu semuanya sama. Dia udah tulis, lalu dia bilang “gini nih scene-nya, dialognya gini, kamu improve ya.” Di The Right One, dari scene 1 sampai 70 itu udah set in stone, tapi dialognya tidak. Dialognya itu banyak yang gue sama Tara come up langsung aja yang penting kita udah sama-sama ngerti karakternya seperti apa. Spontan aja. Jadi banyak scene-scene dari kita berdua yang kelihatannya hidup dan natural.

Apa kesulitan dan suka duka selama pembuatan The Right One?

Kesulitan gue sama Tara cuma ada pada hari pertama dan hari terakhir. Karena hari pertama itu kita semua masih menyesuaikan. Semua krunya kan baru ini, kru yang sebelumnya nggak pernah kerjasama satu sama lain. Gue cuma ngambil satu dua orang yang gue kenal, tapi gue tahu punya taste. Jadi nggak mau nih gue ngambil karena keterbatasan bujet, gue ambil costume dan make up dari yang ecek-ecek, misalnya. Ini gue tahu mereka memang jarang kerja di film, but they have some tastes. Memang ada beberapa kali drama karena hal-hal sepele, but as long as on camera it looks good I don’t care about the other things. Di film itu, dari kostum, dari make up, dari pengambilan gambar, dari sound, and everything, for me, I’m very happy.

Kalau boleh tahu, berapa dana yang dikucurkan buat The Right One dan berapa target penonton yang kamu harapkan?

Gue bakalan ngomong yang sejujurnya. Gue nggak bakal bilang The Right One dibikin dengan bujet sampai 10 miliar atau belasan miliar – karena bujetnya nggak sampai segitu – bujetnya itu bujet FTV plus. Berkisar 1,5 miliar, belum menghitung bujet buat promosi. Duit kita banyak dihabiskan buat promosi, pasang baliho dan semacamnya, apalagi kita tanpa dukungan sponsor karena gue nggak mau ada iklan di film. It’s purely entertainment. Dan di sini gue pengen bilang, “guys, dengan bujet segini, kita bisa lho bikin film bagus, niat, dan sepenuh hati.”

Kalau soal target penonton The Right One, gue sih pengennya 1 juta penonton. Tapi sekarang sih realistis ya, 200 ribu penonton saja gue udah seneng banget. Buat 4 hari pertama, gue expect 75-80 ribu penonton. Itu udah bikin gue tenang.

TRO

Apa harapanmu untuk perfilman Indonesia ke depannya?

Harapan gue untuk film Indonesia ke depannya adalah gue pengen film Indonesia bisa jadi pendapatan komoditi negara kayak di Amerika Serikat, India, Jepang, Korea Selatan, Thailand. Salah satu cara gue buat mewujudkan hal itu adalah, satu, kita selalu bikin film – gue ga mau bilang yang terbaik atau apa – yang always do our best. Jangan bikin film yang kejar tayang dan jangan bikin film yang asal-asalan. Kedua, preparation. Ada workshop dan syutingnya manusiawi. Palingan 8-12 jam kerja, biar kualitasnya agar tetap terjaga. Selain itu, dukungan dari media, broadcast, dan orang-orang entertainment. Sekarang apa-apa kan diduitin dan maunya tiket gratis, datang ke premiere. Kemarin aja ada yang minta tiket gratis ke gue padahal pakaiannya aja serba bermerek. Bayangin, ngeluarin duit 30 ribu aja nggak mau. Kayak gini ini tabiatnya orang Indonesia atau mungkin karena nonton di Indonesia bukan kultur kali ya.

Nah, orang Indonesia ini kan sifatnya followers ya, saat satu pakai BB yang lain ngikut. Makanya ini gimana caranya media, broadcast dan orang-orang entertainment bisa bersatu dan ngangkat film Indonesia supaya bisa cool lagi. Bikin film jadi trendsetter lagi. Media dimana-mana beritain, “wah film Indonesia ini bagus”, jadi orang-orang pada kepo, “film apa sih, kayak apa sih.” Jangan yang diekspos malah drama-drama nggak pentingnya. Kalau udah jadi trend kan orang-orang awam jadi ngikut. Film Indonesia bisa jadi tuan rumah di negaranya sendiri dan pada akhirnya, go internasional.

Terakhir. Apa yang khas atau spesial dari The Right One yang membuatnya berbeda dari film Indonesia kebanyakan?

Jadi ceritanya di film ini adalah orang-orang yang kamu jarang lihat. Paling banyak kamu lihat ya Tara Basro di film dan cowoknya gue paling banyak di FTV. Itu pun orang yang nonton film di bioskop nggak nonton FTV atau sinetron. Marketnya pun beda. Dan sisa-sisanya adalah pemain yang bisa dibilang baru juga, kayak Sheila Tohir sama Dave Alexandre. Plus lagunya juga jarang didenger, pengambilan gambarnya beda, dan color tone-nya juga beda, it’s literally kamu nonton sesuatu yang kamu jarang tonton sih.

The Right One dirilis di bioskop-bioskop Indonesia mulai 27 Februari 2014.

TRO


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.